Evaluasi Kehidupan Beragama di Indonesia – Bagaimana Wujudnya Kini?

JAKARTA – Dosen Universitas Paramadina dan Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi Husni Mubarak menilai negara telah menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beragama sesuai pasal 29 UUD 1945 dan itu merupakan salah satu cita-cita bernegara bangsa.

“Pada tahun 2022 ini dilakukan evaluasi terkait apa yang terjadi selama tahun 2022 dan bagaimana situasinya untuk mencapai cita-cita itu. Sejauh mana tingkat keberhasilan dan bagaimana sebenarnya situasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di 2022 (KBB). Apa penjelasan situasi dan implikasinya bagi kehidupan ideal keagamaan,” jelas Mubarak saat digelar diskusi akhir tahun 2022 bertema “Evaluasi Kehidupan Beragama di Indonesia” yang juga diisi oleh Aktivis Paritas Institut Trisno Sutanto dan selaku moderator Dr Sunaryo dari Dosen Falsafah Agama Universitas Paramadina yang digelar secara virtual, Jumat, (23/12/2022).

Bacaan Lainnya

“Negara berjanji akan memenuhi norma-norma yang ditetapkan dalam International Conference of Civil Right di mana kebebasan beragama, berhatinurani, berkeyakinan tercantum di dalamnya,” sambung Mubarak.

Mubarak menyampaikan, terdapat dua ranah pada diskusi itu seperti internum. Di mana internum suatu hak yang tidak dapat dibatasi oleh apapun dan siapapun  dalam beragama dan berkeyakinan. Termasuk tidak meyakini adanya Tuhan. Lalu Esternum, lanjut Mubarak, ekspresi eksternal dari keyakinan yang dapat dibatasi sesuai dengan norma yang berlaku.

Pada proses pencarian data ungkap Mubarak, untuk mengevaluasi dan menganalisis situasi KBB di 2022 dilakukan oleh Tim yang menggunakan mesin pencari google dan membuka media daring, rentang waktu Januari – Desember 2022. Kata kunci yang digunakan : Penodaan agama, penistaan agama, konflik rumah ibadah, agama leluhur dan agama kepercayaan.

“Temuan terbanyak masalah dalam KBB 2022 menemukan 24 kasus KBB. kasus Sektarianisme menempati posisi teratas, dan umumnya bersentuhan dengan level negara di mana terdapat Regulasi Negara, aturan dan Undang-undang yang digunakan aparat negara dalam menyelesaikan problem-problem KBB agar tidak bertabrakan satu dengan yang lain. Salah satunya adalah kasus Roy Suryo ketika dituduh menodai agama dalam kasus gambar stupa dan ditindaklanjuti oleh Polisi. Lainnya kasus ritual menikah dengan kambing, dianggap menodai agama dengan tersangka 4 orang,” papar Mubarak.

Yang kedua, terang Mubarak, kasus-kasus KBB antar agama di mana masyarakat lebih banyak terlibat dalam penyelesaian dengan menggunakan regulasi sosial daripada regulasi negara.

Sementara yang ketiga, pada kasus agama leluhur seimbang antara regulasi negara dan regulasi sosial. Dari 24 kasus hanya 2 perkembangan positif terkait KBB, yakni adanya KUHP baru yang menghapus UU PNPS 1965 dan pelayanan pendidikan bagi siswa pemeluk agama leluhur. Dan secara umum, lebih banya kasus baru ketimbang kasus lama (sejak sebelum 2022) yang tidak kunjung selesai.

“Namun pada kasus Sektarianisme, seluruhnya adalah kasus baru pada 2022. Pada isu antar agama, lebih banyak kasus lama yang belum selesai daripada kasus baru 2022. Pada isu agama leluhur, kasus baru lebih banyak daripada kasus lama yang belum selesai. Kasus sektarianisme lama (pra 2022) tidak muncul di berita kembali dibanding isu antar agama dan agama leluhur,” papar Mubarak.

“Terdapat 3 masalah yang masih harus diselesaikan, yaitu masalah Struktural, di mana sila pertama Pancasila dianggap tidak memberi ruang bagi warga yang tidak berketuhanan yang maha esa. Munculnya hirarki dalam Agama dan keyanikan. Agama dianggap lebih tinggi levelnya dari keyakinan. Norma untuk membatasinya terletak pada siapa yang lebih dominan, dan agama pada akhirnya dominan dalam menentukan boleh atau tidak.”

“Masalah Kultural. Kerukunan sebagai filosofi bernegara dirasa masih belum memadai. Toleransi masih pada level tak acuh terhadap orang atau kelompok yang berbeda, dan kuran perduli terhadap kepentingan orang lain. Padahal toleransi tidak cukup karena masalah yang kita butuhkan adalah sesuatu yang lebih dalam.”

“Masalah Implikasi. Implikasi Struktural, harus jadi penekanan bahwa dibutuhkan satu kontrak kebangsaan baru tentang kehidupan beragama yang inklusif dan setara. Pada Implikasi Kultural: Diperlukan perubahan paradigma: Terpenuhinya Hakku, adalah juga kepentinganmu.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.