Kita umat Islam di Indonesia, memang tidak satu kelompok tunggal yang homogen. Itu satu kenyataan. Tapi, walaupun begitu, setiap kelompok mempunyai pengurusnya sendiri atau organisasinya sendiri yang dipercayakan otoritasnya bagi nasib dan perkembangan kelompok bersangkutan.
Nah, timbul masalah jika dalam suatu kasus, misalnya ketika pemerintah yang berkuasa memerintahkan agar umat Islam mematuhi perintah dan aturan terkait pelaksanaan agama. Misalnya, pemerintah menganjurkan agar mesjid ditutup dari aktivitas sholat Jum’at, sholat tarawih berjamaah, sholat ‘id, dan pada saat yang sama menyerukan supaya pelaksanaan zakat dilakukan lebih dini, dengan dalih wabah. Atau kasus lain, dana umat Islam dari ongkos haji, dialokasikan ke lain urusan di luar haji, seperti pembiayaan infrastruktur. Lantas pertanyaannya, sudah tepatkah umat Islam Indonesia harus patuh pada pemerintah dalam perkara-perkara yang disebut di atas dengan alasan bahwa pemerintah adalah Ulil Amri? Apakah yang disebut Ulil Amri itu? Memenuhi syaratkah pemerintah diletakkan sebagai Ulil Amri?
Dalam negara setengah sekuler seperti Indonesia, dimana pemerintah merupakan pelaksana dari negara, dimana negara bukan semata-mata wakil kepentingan umum umat Islam, dimana negara bukan didirikan untuk semata-mata melayani umat Islam, dimana negara bukan representasi dari umat Islam, maka meletakkan pemerintah sekonyong-konyong sebagai Ulil Amri, tentulah terlalu berlebihan, dan tidak pada tempatnya.
Lalu bagaimana solusinya?
Pemerintah yang bersifat netral dan nasional seperti pemerintah Indonesia, sudah terbukti, kadang dirasa merugikan kepentingan umat Islam. Kadang dirasa tidak memenuhi aspirasi umat Islam. Karena memang demikianlah design kenegaraan yang bersifat netral agama dan nasional. Adapun yang dinamakan Ulil Amri, tidak mungkin memiliki prinsip netral agama. Namanya saja sudah Ulil Amri. Maka kadang-kadang terasa lucu dan rancu bilamana sebagian eksponen pemimpin umat dengan ringan dan santainya mendudukkan pemerintah sebagai Ulil Amri yang bertanggung jawab mengatur umat Islam atas nama Islam. Itu sungguh rancu.
Untuk memecahkan masalah ini, setiap perkara yang terkait dengan nasib dan urusan umat Islam, para pemimpin dari kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi umat Islam itulah yang musti bertanggungjawab terhadap nasib dan urusan kelompoknya. Bilamana pemerintah memerintahkan, misalnya tutup masjid, stop sholat ‘Id, keluarkan zakat, hal itu tidak serta merta diamini dan dilaksanakan begitu saja. Para pemimpin umat Islam itu harus membahasnya secara musyawarah hingga setiap perintah dan anjuran pemerintah itu, dapat diterima, dilegitimasi atau ditolak.
Karena yang lebih tepat untuk konteks negara netral agama seperti Indonesia, yang Ulil Amri, ya…para pemimpin kelompok atau organisasi umat Islam itu sendiri.
Jika tiba-tiba mereka mematuhi begitu saja tanpa proses pembahasan dan musyawarah internal, lebih baik sekalian umat Islam itu tanpa organisasi dan diserahkan kepada pemerintah untuk dikelola sesuai kepentingan negara nasional yang netral agama. Tapi, maukah umat Islam jika agama dan kepentingannya dipimpin oleh pemerintah yang kadang muncul dari figur yang tidak educated dan illiterate terhadap Islam? Kalau mau, silakan saja.
~ Syahrul Efendi Dasopang, Imam Masjid Umar bin Al Khattab – Jatinegara