Kebijakan Darurat Sipil Jokowi Dinilai Aneh bin Ajaib

Catatan: Moh Rozaq Asyhari, Sekjend PAHAM Indonesia

Pilihan Presiden Jokowi untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar sudah tepat, karena kebijakan ini sudah diatur dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Namun problemnya sampai saat ini pemerintah belum menerbitkan PP, sehingga UU tersebut belum bisa dilaksanakan.

Akan tetapi jika opsi berikutnya adalah darurat sipil, ini sangat aneh. Kaidah darurat sipil diatur dalam Perpu 23 Tahun 1959, yang sebenarnya lahir untuk memenuhi ketentuan pasal 12 UUD 1945. Situasi yang dihadapi dalam darurat sipil adalah kondisi keamanan umum, sehingga pendekatannya adalah militeristik.

Yang diatur dalam Perpu itu jika terjadi darurat sipil adalah kewenangan penyadapan, penggeledahan, penyitaan dan tindakan lain yang terkait keamanan. Tentu ini jauh api dari panggang, jika kita menangani virus dengan pendekatan demikian.

Seharusnya, dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar, presiden mengambil opsi karantina wilayah sebagaimana diatur dalam pasal 53 UU Karantina Kesehatan. Ini instrumen yang lebih tepat menghadapi Covid-19, karena menggunakan pendekatan medis.

Jangan sampai Pemerintah terlihat takut dengan konsekuensi karantina wilayah di pasal 55, lantas mencari solusi lain dengan menerapkan darurat sipil. Kewajiban pemerintah untuk menanggung kebutuhan dasar orang diwilayah karantina sebagaimana diatur dalam pasal tersebut adalah konsekuensi logis yang seharusnya diambil pemerintah.

Jika sebelumnya Presiden menyampaikan siap membantu China untuk menghadapi Corona, tentunya akan lebih siap lagi untuk membantu rakyatnya yang sedang terkena wabah Corona.

Moh Rozaq Asyhari
Sekjend PAHAM Indonesia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.