RUU HIP Jadi RUU BPIP, Demokrat: Seolah Kejar Tayang

JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Demokrat Syarief Hasan mempertanyakan langkah Pemerintah yang terkesan terburu buru merubah RUU HIP menjadi RUU BPIP. Di mana Pemerintah lewat Menko Polhukam secara resmi mengajukan perubahan atas RUU HIP menjadi RUU BPIP yang disampaikan di Gedung Senayan, Jakarta pada Kamis (16/7/2020).

Syarief memandang langkah Pemerintah menunjukkan ketidakmampuan Pemerintah membaca aspirasi dan protes masyarakat secara lebih mendalam.

Bacaan Lainnya

“Permasalahan RUU HIP tidak terletak pada nama atau nomenklatur undang-undangnya, akan tetapi terletak pada latar belakang, proses, dan hampir keseluruhan substansi RUU HIP yang sangat jelas bermasalah”, tegas Syarief pada wartawan, Jumat (17/07/2020).

Ketidakmampuan ini memang sangat jelas ditunjukkan Pemerintah. Sebab, lanjutnya, Pemerintah hanya menolak dua poin dalam RUU HIP. Pertama, absennya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 dan kedua, munculnya istilah Trisila dan Ekasila dalam RUU HIP.

“Respon Pemerintah yang hanya menolak dua poin dalam RUU HIP telah mengesampingkan poin atau pasal bermasalah lainnya,” ungkap Syarief Hasan.

Aggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini berpandangan bahwa Pemerintah seharusnya menolak secara keseluruhan RUU HIP ini. Sebab, hampir secara keseluruhan RUU ini memiliki muatan bermasalah yang dapat mendegradasi dan mendistorsi nilai-nilai Pancasila.

“Sampai Pemerintah menyampaikan sikap resminya, yang terpenting adalah saat ini DPR tidak atau belum menerima sama sekali kajian akademik dari Pemerintah yang menjadi syarat diajukannya suatu RUU sebagai bahan untuk disebarkan ke publik dan bahan pembahasan .Ini menunjukkan pula bahwa pemerintah tidak menyeriusi penolakan terhadap RUU HIP,”, sebut Syarief.

RUU HIP dan RUU BPIP, adalah dua hal yang berbeda sehingga Syarief Hasan memandang bahwa langkah ini tidak perlu dilakukan sekarang. Sebab, BPIP telah memiliki payung hukum yakni Perpres No. 7 Tahun 2018.

“Pengubahan RUU HIP menjadi RUU BPIP melalui UU justru kontraproduktif di tengah penolakan keras terhadap RUU ini,” ungkap Syarief.

Menurutnya, penguatan BPIP melalui UU juga mesti dikaji lebih mendalam dan tidak bisa short cut atau jalan pintas seakan kejar tayang dan ini juga menjadi pertanyaan.

Selain itu kita sering melihat relevansi BPIP hari ini yang sering membuat pernyataan yang kontraproduktif dan penguatan BPIP dapat juga menjadi alat kekuasaan baru dalam menafsirkan Pancasila yang bisa mendistorsi Pancasila. Perlu kajian mendalam relevansi BPIP sehingga BPIP tidak seperti BP7 di masa lalu yang malah menjadi sensor berlebihan, bukan perekat kebangsaan,” ungkap Syarief.

Ditambahkan bahwa Pemerintah dan DPR RI mesti lebih berhati-hati dan matangd alam mengambil sikap.

“Tanpa UU saja, BPIP telah menimbulkan banyak kontroversial di masyarakat. Apalagi jika dikuatkan lewat UU maka akan berpotensi menimbulkan masalah baru. Yang paling penting hari ini adalah kajian akademik dibutuhkan terkait relevansi BPIP dan perlu tidaknya BPIP diatur melalui UU dan sebaiknya dilakukan oleh lembaga independent /universitas UI misalnya,” jelasnya.

゛Untuk itu sebelum ada kajian akademik tersebut sebaiknya RUU BPIP ini ditunda pembahasannya,゛tutup Syarief Hasan. (HMS)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *