Bangsa yang Dikepung Masalah

Apes! Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan negeri +62 saat ini. Keprihatinan terkait pemilu 2019 belum usai, muncul kasus Jiwasraya dan Asabri. Lenyapnya belasan triliun di kedua BUMN itu makin menggegerkan negeri ini.

BPJS pun collaps. Naikkan iuran melalui Perpres No 82/2018, dibatalin MA. Naikkan lagi dengan perpres 64/2020, rakyat ramai-ramai menyerbu. Yudisial riview lagi. Apakah akan dibatalin lagi oleh MA, lalu dinaikkan lagi melalui Perpres yang baru? Kayak sirkus aja!.

Revisi UU KPK pun mendapat banyak kutukan. Apalagi ketika KPK tak bisa geledah kantor PDIP. Harun Masiku (HM), mantan kader PDIP menghilang. KPK pun belum mampu menemukannya. Sampai sekarang entah dimana buronan ini berada. Emang masih hidup? Begitulah pertanyaan publik.

Soal tangkap menangkap, kita percaya polisi sangat profesional. Kenapa sampai hari ini HM belum juga ketangkap? Apakah orangnya sudah mati?

Sedang meratapi keadaan KPK, gelombang corona datang. Bak tamu tak diundang, corona telah memakan banyak korban. Lebih dari seribu penduduk mati. Itu yang tercatat. Artinya, mati setelah ada hasil test swebnya. Yang belum ada hasil testnya, gak tercatat. Jumlahnya? Bisa lebih besar.

Perppu corona pun diterbitkan. Tapi, mendapat banyak kecaman. Sejumlah pakar hukum protes. Perppu corona dianggap memberi kesempatan terjadinya korupsi besar-besaran. 405,1 triliun bukan uang kecil bro. Tapi, DPR menyetujui dan ketok palu. Perppu jadi UU. Itulah DPR kita.

Belum lagi 209 pasal dalam UU Minerba yang cenderung abaikan Amdal, dan RUU Omnibus Law yang dianggap memojokkan nasib para buruh. Rakyat teriak. Tapi DPR nampak gak dengar. Tutup telinga. Coba kritik, buzzer bertindak. Rupanya, (oknum) DPR sudah berhasil belajar dari pemerintah. Pelihara buzzer.

Baru-baru ini, muncul perpres No 60/2020. Tentang Tata Ruang kawasan Perkotaan Jabodetebek Mujur. Salah satunya memberi ijin pulau reklamasi (C, D, G dan N) untuk dibangun. Padahal, pulau G masih ada sengketa hukum. Belum ada putusan PK. Gubernur DKI lagi mau ajukan PK setelah gugatan di PTTUN ditolak.

Inilah gambaran negeri +62 yang hampir setiap pekan dikagetkan entah oleh kebijakan maupun peraturan. Legal dari sisi hukum. Tapi, tak berarti sesuai pikiran dan harapan rakyat. Justru ada di persimpangan.

Pemerintah dan DPR terlalu sering berseberangan dengan rakyat. Tapi, rakyat tak bisa apa-apa. Hanya bisa teriak. Dadanya sesak. Inilah penyebab kegaduhan itu. Ditambah lagi pola komunikasi yang terkesan arogan dan sewenang-wenang. Malah terkadang ngawur. Kengawuran yang didukung oleh “buzzer premium”.

Belum terlihat Indonesia mampu keluar dari masalah. Ketidakadilan hukum dan kegaduhan politik masih mendominasi di media.

Lebih-lebih dari sisi ekonomi. pertumbuhan ekonomi hanya 0,2 persen. Sudah defisit 500 triliun. 80-an persen negeri ini bergantung pada pajak. Tapi, pajak tak lagi bisa diandalkan. Ekonomi megap-megap membuat pusat pun kewalahan bayar hutang “Dana Bagi Hasil” atau DBH ke pemerintah daerah. Termasuk hutang ke Pemprov DKI. Cari alasan, belum selesai diaudit BPK. BPK teriak: apa urusannya dengan kami? BPK ngamuk. Solusinya, sejumlah menteri serang gubernur. Kok gak cakep mainnya.

Yang tampak muka dari bangsa ini justru makin dikepung oleh masalah. Keadaannya makin mengkhawatirkan lagi ketika negeri +62 ini impor TKA dari China saat pandemi covid-19.

Kepada sembilan tokoh oposisi, yaitu Dr. Abdullah Hehamahua, Prof. Dr. Din Syamsudin, Emha Ainun Najib, Habib Rizieq, Dr. Refly Harun, Dr. Rizal Ramli, Rocky Gerung, K.H.Najih Maemoen dan Said Didu, rakyat berharap ada koalisi kebangsaan. Melibatkan para tokoh yang punya perhatian serius untuk selamatkan bangsa ini. Tugasnya? Mengingatkan, menekan dan mendorong pemerintah untuk keluar dari kepungan masalah bangsa ini dengan cara yang tepat. Keluar dari masalah tanpa masalah. Bukan keluar dari malah dengan menambah banyak masalah.

Jakarta, 20 Mei 2020

Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *