Kata tuan Alvin, negara pancasila itu keadilannya menguasai pemerataan. Dan, pemerataannya berdimensi keindahan. Dan, keindahannya melampaui kekuasaan. Dan, kekuasaannya memiliki kemartabatan.
Dan, kemartabatannya menternak kearifan. Lalu, kearifannya bersendi keadilan sosial bagi seluruh, ya seluruh warga negara!
Jika para revolusioner mendirikan negara dengan ide cemerlang, para pewaris menjualnya dengan ide kopi kolonial. Jika, Tan memimpin rakyat miskin dengan gagasan-gagasan besar, elite hari ini memimpin kita dengan cengengesan dan blusukan serta miskin ide.
Semboyannya “kaos oblong dan sandal jepit, kami berbohong agar kalian terjepit.” Sedang Tan bersemboyan, “gerpolek.” Dalam gerpolek, yang merupakan akronim dari gerilya, politik dan ekonomi, Tan Malaka membahas strategi militer yang seharusnya dan konsep pergerakan pada umumnya yang harus dilakukan oleh seorang gerilyawan.
Tan selalu mengingatkan rakyatnya untuk menjadi diri bangsanya sendiri; memahami tujuan sebenarnya negara Indonesia didirikan. Tan, setidaknya menjelaskan bahwa perang purba maupun modern bukan hanya milik para tentara, tetapi juga menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat agar Indonesia tidak bergantung pada bangsa lain.
Dalam negara pancasila, “pendidikan itu merusak apabila mengunggulkan nalar sambil mengabsenkan intuisi. Lebih merusak lagi, cuma menghapal dan mengabaikan proses bernalar. Itu yang lebih sering terjadi.
Tentu proses tersebut disadari oleh kita ini tetapi terus terjadi pada dunia pendidikan di sekitar. Akhirnya ‘ngerti tanpo ngroso (olah rasa) lan tanpo nglakoni (mengamalkan dalam perbuatan).’
Kurikulumnya bagai teks yang tak berkonteks di realitas kehidupan. Bagaikan setumpuk kurikulum pawang sirkus, yang instruksional supervisial, menekankan otak kiri tanpa otak kanan.
Akhirnya rumah kebudayaan diganti menjadi rumah industri kesadaran. Lebih parah karena itu membesar di ruang publik oleh pejabat publik.”
Kawan-kawanku semua, “pendidikan dan hidup kita betapa memilukan tergambar di wajah ruang publik kita sehingga beternak agensi yang munafik, menyembah materialisme, bertradisi pragmatisme, penyembah hedonisme. Semua kini adalah hari-hari kita orang Indonesia.”
Tetapi, jangan pesimis. Ini fase sejarah yang harus kita pecahkan bersama. Sudah ada beritanya, “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya (Al-an’am: 123).”
Maka dalam hikayat perang semesta, para petarung Samurai memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, agar tidak (lagi) dipermalukan akibat kegagalan saat melaksanakan tugas atau berbuat salah sehingga merusak kepentingan rakyat banyak. Tapi di kita banjir petruk, bukan para Samurai.
Ini kisah sebagai hadiah tahun baru buat kalian. Apa hadiah kalian buatku? Bagi ke sini. Siapa tahu kita jadi pasukan.
Oleh: Yudhie Haryono, Pengamat Sosial Politik