Namlea – Pilkada serentak 2024 di Kabupaten Buru, Maluku, menghadapi tantangan serius setelah Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) Kecamatan Waelata dan Kecamatan Lilialy menemukan indikasi kecurangan di beberapa Desa. Temuan ini memicu perhatian publik yang berharap agar proses Pilkada berjalan bersih, aman, dan transparan.
Menurut laporan Panwascam, beberapa Desa di dua Kecamatan tersebut menjadikan salah satu temuan yang dimana PPS Desa tersebut hasil yang ada pada kotak pemilihan tidak ingin dibuka. “Temuan ini harus diusut tuntas agar tidak mencederai demokrasi,” tegas Zatli Nacikit putra asli Namlea yang juga Sekretaris Umum HMI Cabang Jakarta Raya saat diwawancarai di Namlea, Rabu (4/12/24).
Hal serupa juga terjadi di Kecamatan Lilialy, yang dimana kasus serupa juga terjadi di beberapa Desa di Kecamatan tersebut.
Keamanan Pilkada dalam bayang-Bayang polarisasi
sementara itu, aparat keamanan berkomitmen untuk menjaga stabilitas selama pilkada berlangsung. Kapolres Pulau Buru, AKBP Sulastri Sujidjang, S.H., S.I.K., M.M., menyatakan bahwa pihaknya telah memperketat pengamanan di wilayah rawan.
Namun, kata Zatli, pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa polarisasi politik sering kali memicu konflik di tingkat lokal. Dalam situasi seperti ini, sambungnya, koordinasi antara aparat keamanan, penyelenggara pilkada, dan masyarakat menjadi kunci untuk menciptakan suasana kondusif.
Mewujudkan Pilkada yang beintegritas,
Zatli yang juga merupakan aktivis mahasiswa di Jakarta ini menyatakan bahwa melihat kasus ini sebagai tamparan bagi demokrasi lokal di Kabupaten Buru. Pilkada, lanjutnya, seharusnya menjadi momentum bagi rakyat untuk menentukan pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan, bukan ajang untuk memperjualbelikan suara.
Zatli menambahkan, indikasi kecurangan yang ditemukan di Kecamatan Waelata dan Lilialy adalah bukti nyata bahwa praktik-praktik tidak sehat masih menjadi bagian dari proses politik di tingkat lokal. Jika dibiarkan, hal ini tidak hanya mencederai integritas pilkada, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.
“Pertanyaannya adalah sejauh mana keberanian aparat penegak hukum dan penyelenggara pilkada untuk menindak tegas pelaku kecurangan ini? Jika mereka ragu atau bahkan bersikap kompromistis, maka demokrasi kita hanya akan menjadi ilusi,” tukasnya.
Namun, ungkap Zatli, tanggung jawab ini tidak sepenuhnya berada di tangan penyelenggara dan aparat keamanan. Masyarakat Kabupaten Buru juga harus mengambil peran aktif. Laporkan setiap kecurangan yang terlihat, tolak politik uang dan pilihan kita hari ini akan menentukan masa depan daerah ini.
“Pilkada yang bersih, aman, dan transparan bukanlah cita-cita yang mustahil, tetapi membutuhkan kerja sama dari semua pihak. Indikasi kecurangan yang muncul harus menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa demokrasi tidak boleh dirusak oleh kepentingan segelintir orang,” tutupnya.