Orientasi Pendidikan Nasional Indonesia Semakin Kapitalistik

Oleh : Jacob Ereste

Pembenaran terhadap kesulitan mahasiswa untuk mengatasi biaya kuliahnya dengan menggunakan Pinjol (Pinjaman Online) jelas bukan hanya tidak mendidik, tetapi sekaligus membiarkan mahasiswa terlibat dalam hutang yang menjadi beban tambahan akibat dikenakan bunga yang relatif cukup besar.

Bacaan Lainnya

Kecuali itu, pembiaran mahasiswa mengatasi masalah pembiayaan kuliahnya dengan Pinjol, artinya bisa dipahami sebagai upaya mengelak dari kewajiban memberi bantuan terhadap mahasiswa yang mengalami kesulitan. Dan akibatnya, mahasiswa akan semakin mendapat beban tambahan, karena harus memikirkan juga tanggungan pinjaman yang harus dilunasi dalam waktu tertentu, atau semakin mendapat beban bunga berbunga tambahan. Maklumlah, orientasi dari usaha Pinjol tak hirau pada nilai-nilai sosial, karena semata-mata bertujuan komersial, mencari keuntungan finansial.

Jadi, pembiaran atau bahkan dorongan, seperti yang dikatakan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) RI, Prof. Muhadjir Effendi yang mendukung wacana pemanfaatan Pinjol yang diungkapkan DPR RI kepada Kemendikbudristek RI untuk menggaet BUMN terkait upaya pemberian dana biaya untuk kuliah, jelas tidak tidak seirama dengan upaya pembangunan manusia dan budaya bangsa Indonesia yang harus mandiri dan terbebas dari segala beban yang memberatkan segenap anak warga bangsa Indonesia yang diamanatkan oleh UUD 1945 agar cerdas dan bebas dari kemiskinan.

Heboh biaya kuliah yang mahal semakin menegaskan bahwa orientasi pendidikan nasional Indonesia tidak lagi mengemban tugas mulianya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam tujuan kemerdekaan bangsa untuk membebaskan seluruh rakyat dari kebodohan, ketertinggalan dan kemiskinan hingga seabab Indonesia merdeka untuk memasuki era Indonesia Emas (2045), sungguh tidak sejalan dengan apa yang disesumbarkan oleh pemerintah.

Semangat komersialisasi perguruan tinggi sungguh sangat memprihatinkan, dimana hasrat untuk menyongsong era Indonesia Emas setelah 100 tahun kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia dijalankan, terkesan tidak kunjung mengendus upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengatasi masalah fakir miskin dan warga masyarakat yang terlantar. Lalu apa, sesungguhnya makna kemerdekaan bagi segenap warga Bangsa Indonesia, bila tingkat kecerdasan dan angka kemiskinan masih menjadi persoalan yang tidak mampu diselesaikan?

Sungguh ironis dan tragis. Apalagi jika disanding dengan kesenjangan yang sangat abai pada masalah keadilan, antara masyarakat yang miskin dengan mereka yang kaya raya dengan hasil korupsi, bukan atas dasar usaha dan jerih payah kerja yang baik dan benar.

Orientasi material yang telah merasuk pada ranah pendidikan di Indonesia, adalah buah dari sikap dan sifat kapitalistik yang jauh dari nilai-nilai spiritual sebagai penjaga etika, moral dan akhlak mulia manusia. Lantaran pemahaman terhadap hablum minallah, hablum minannas tidak mau dan tidak mampu membumi di negeri ini.

*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *