JAKARTA – Anggota Badan Anggaran DPR Hermanto menyebutkan, pertumbuhan ekonomi yang mendadak tinggi 7,07 persen pada Quartal ke-2 (Q-II) 2021 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) terasa janggal dan aneh. Padahal saat itu aktivitas ekonomi dan bisnis mengalami pelemahan akibat kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dimana pemerintah gencar-gencarnya melakukan pembatasan dan pengetatan mobilitas orang, barang dan transportasi.
“Pemerintah perlu menjelaskan secara akurat faktor apa yang menyebabkan meroketnya pertumbuhan ekonomi tersebut,” ucap Hermanto dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan.
Pertumbuhan ekonomi Q-I 2021, lanjut Hermanto, sebesar minus 0,74 persen. Pertumbuhan ekonomi Q-II 2021 sebesar 7,07 persen.
“Pertumbuhan ekonomi mendadak tinggi yang tidak dapat dijelaskan secara akurat akan menyebabkan kondisi ekonomi Indonesia bisa masuk katagori economy bubble growth, dimana terjadi respon emosional secara mendadak berupa kenaikan harga dan aset yang dinilai tidak wajar dalam suatu kondisi ekonomi yang bersifat anomali karena kebijakan PPKM,” papar legislator dari FPKS DPR ini..
Menurutnya, banyak faktor anomali yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi pada masa PPKM.
“Faktor anomali pertumbuhan tersebut antara lain penerapan nol persen pajak pembelian mobil atau diskon PPnBM 0 persen, meningkatnya pembelanjaan sektor kesehatan karena covid-19 dan pertumbuhan ekonomi sektor digital,” ungkap Hermanto.
“Namun faktor pertumbuhan ekonomi seperti itu tidak berdampak pada trickle down effect sehingga hanya membentuk gelembung ekonomi sesaat dan dapat diperkirakan dalam waktu singkat bisa kempes mendadak,” tambahnya.
Pertumbuhan ekonomi sesaat seperti itu, katanya, tidak berdampak pada sektor riil ekonomi rakyat karena aktivitas ekonomi rakyat dan bisnis tidak menggeliat.
“Apalagi pemerintah melakukan kebijakan penutupan pasar, mal, pusat perbelanjaan modern dan keramaian perdagangan dilapis rakyat, ujar Hermanto.
Bersamaan itu, tambahnya, terjadi pemutusan hubungan kerja yang berakibat semakin besarnya jumlah pengangguran. “Investasi berkurang berakibat lapangan kerja menurun dan ekonomi sektor informal tutup disetiap daerah,” ujar Hermanto.
Secara agregat pendapatan masyarakat berkurang. Akibatnya daya beli masyarakat melemah.
“Masyarakat selama PPKM hanya mengandalkan tabungan yang saat ini juga mengalami penipisan,”ucap legislator dari Dapil Sumbar I ini.
“Satu-satunya peluang ekonomi yang masih diharapkan saat PPKM adalah sektor pertanian,” pungkas Hermanto yang juga anggota Komisi IV DPR ini. (Joko)