Makin Panas! Komnas Perempuan Kirimi Surya Paloh Surat soal Kasus Pelecehan Seksual Verbal Sugeng Suparwoto

JAKARTA –  Kasus dugaan pelecehan seksual verbal yang dilakukan oleh Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Sugeng Suparwoto terus berlanjut di ranah hukum. Kini memasuki babak baru yang menyeret nama Partai NasDem.

Di mana Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah mengeluarkan surat rekomondasi bernomor 1B8/KNAKTP/Pimpinan/VII/2023 | 5 Juli 2023 dikirim ke Ketua Umum Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem Dr. Drs. H. Surya Dharma Paloh untuk menyelesaikan kasus tersebut. Andy Yentrivani

Bacaan Lainnya

Surat itu ditanda tangani langsung oleh Ketua Komnas Perempuan Andy Yentrivani. Dalam surat itu, Andy memulai suratnya dengan menyampaikan tugas Komnas Perempuan menghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan didirikan
Presiden Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 181 Tahun 1998 jo. Peraturan Presiden (Perpres) No. 65 Tahun 2005.

“Dengan tugas dan kewenangan salah satunya untuk memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat, guna mendorong kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan,” tulis Andy.

Dituliskan, pada pertimbangan tersebut diberikan berkaitan dengan dan didasarkan dari pelaksanaan tugas dan kewenangan lain yang diberikan kepada Komnas Perempuan, terutama untuk melakukan pemantauan, pencarian fakta, pendokumentasian dan kajian strategis terkais kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk yang dilaporkan padanya.

“Komnas Perempuan pada 12 April 2023 telah menerima pengaduan dari Sdri Ammy Amalia Fatma Surya (selanjutnya disebut Pelapor), perempuan korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Sdr. Sugeng Suparwoto (selanjutnya disebut Terlapor) Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Dari pengaduan yang diterima menyebutkan hal-hal berikut ini:

1. Pelapor mengenal Terlapor karena keduanya merupakan anggota Partai Nasdem. Pelapor juga pernah menjadi anggota DPR RI periode 2014 – 2019. Sedangkan Terlapor merupakan bagian dari pimpinan di Partai Nasdem yang saat ini sekaligus menjabat sebagai Ketua Komisi VII DPR RI. Pelapor mulai membangun komunikasi dengan Terlapor untuk membahas masalah langkah politik, karena saat itu Pelapor menjabat sebagai Ketua DPD  Partai Nasdem Kabupaten Cilacap.

2. Pada Maret 2022, Terlapor mulai mengirimkan pesan yang melecehkan dan bernuansa seksual. Pesan-pesan tersebut berupa kalimat yang mengajak Pelapor berkaraoke berdua. Terlapor juga menawarkan untuk memijat apabila Pelapor sedang kelelahan. Terlapor sempat  meminta foto Pelapor yang tanpa busana, dan meminta Pelapor datang ke rumah Terlapor saat rumah tersebut sepi.

3. Atas kejadian tersebut, Pelapor melaporkan kasusnya ke Majelis Tinggi Partai secara lisan kepada Ibu Lestari Moerdijat yang juga merupakan Wakil Ketua MPR RI dari Partai Jl. Latuharhari 4B, Menteng, Jakarta 10310-INDONESIA Tel.: 62-21-390 3963, Fax.: 62-21-390 3922 Email: mail@komnasperempuan.go.id Website: www.komnasperempuan.go.id Nasdem. Ibu Lestari Moerdijat kemudian diberikan dua pilihan. Pertama, melaporkan Terlapor melalui mekanisme partai dan kedua, melaporkan Terlapor di luar mekanisme partai apabila Terlapor tidak ada rasa jera.

4. Pelapor kemudian melakukan laporan dengan mekanisme yang pertama yaitu ke Ketua Dewan Kehormatan Partai, Ketua Umum, dan Ketua Mahkamah Partai Nasdem. Berdasarkan informasi dari Pelapor, laporan ini belum ada tindak lanjut apa pun.

5. Pada Desember 2022, Terlapor masih mengirimkan pesan bernuansa seksual seperti mengatakan bahwa Pelapor membutuhkan dipeluk laki-laki dan dipenuhi kebutuhan biologisnya.

6. Pelapor yang saat ini bekerja menjadi anggota di Divisi Lingkungan Hidup DPP Partai Nasdem merasa tidak nyaman untuk hadir di kegiatan DPP. Hal ini karena, informasi atas pelecehan seksual yang dialami Pelapor sudah tersebar luas akibat Terlapor menceritakan laporan Pelapor kepada rekan-rekannya di Partai Nasdem. Pelapor juga merasa terintimidasi karena Terlapor mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi darinya.

Terhadap perkara di atas, Komnas Perempuan berpendapat:

1. Sejak 9 Mei 2022, Negara Republik Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai regulasi khusus penanganan kasus kekerasan seksual. UU TPKS mengenal 9 jenis kekerasan seksual berupa pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Pengesahan UU TPKS menjadi perjalanan panjang mengingat inisiasi awal dari Undang- Undang ini sudah berjalan sejak tahun 2012. Setelah sempat dikeluarkan dari program legislasi nasional prioritas pada tahun 2018, pada awal tahun 2022, 8 dari 9 fraksi di DPR RI akhirnya mendukung Rancangan UU TPKS menjadi Undang-Undang.!

Salah satu fraksi yang mendukung penuh pengesahan UU TPKS adalah Partai Nasdem, termasuk dengan mendelegasikan Sdr. Willy Aditya sebagai Ketua Panitia Kerja UU TPKS ini. Komnas Perempuan sangat mengapresiasi kerja-kerja serta komitmen yang telah dilakukan Partai Nasdem dalam upaya penghapusan kasus kekerasan seksual di Indonesia.

2. Berdasarkan pengaduan di atas, Komnas Perempuan berpendapat bahwa informasi yang disampaikan pelapor perlu diperlakukan sebagai laporan awal indikasi kekerasan seksual berupa pelecehan seksual di tempat kerja yang dilakukan oleh terlapor. Laporan awal ini perlu ditindaklanjuti segera karena terlapor memiliki relasi yang timpang dengan kuasa yang lebih besar daripada pelapor di dalam struktur partai dan juga terlapor sekaligus adalah pejabat publik.

3. Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh Pejabat Publik yang meningkat setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2022, Komnas Perempuan menemukan 7 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh Pejabat Publik. Pembiaran atas perbuatan yang dilakukan Terlapor akan menyebabkan langgengnya tindak kekerasan seksual terhadap perempuan di masyarakat.

4. Selain berpotensi tindak pidana, Mengingat terlapor merupakan anggota parlemen, pembiaran atas pelaporan ini dapat mencoreng nama baik dan kehormatan DPR RI karena adanya dugaan pelanggaran integritas sebagaimana Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR RI. Pasal 3 peraturan tersebut mensyaratkan Anggota DPR RI untuk menghindari perilaku tidak pantas baik di dalam maupun di luar gedung DPR menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat, serta menjaga nama baik dan kewibawaan DPR.

5. Pentingnya anggota parlemen menjadi tauladan dalam integritas mendorong terbitnya Peraturan KPU RI No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota yang mensyaratkan larangan pelaku kejahatan seksual sebagai calon legislatif. Meksi telah ada pembaruan kebijakan, pesan moral dari peraturan ini perlu menjadi perhatian bersama dan diupayakan penegakkan, terutama jelang proses pemilu 2024 ke depan demi proses demokrasi yang berkontribusi pada penciptaan kondisi yang aman bagi semua.

6. Dampak kekerasan seksual di dunia kerja dapat mengakibatkan trauma, ketidaknyamanan dalam bekerja, kehilangan harga diri, perendahan martabat, serta berbagai bentuk stigma yang akan diperolehnya dari lingkungan sosial yang tidak mendukung korban untuk
mendapatkan keadilan. Tidak mudah bagi korban karena harus berhadapan dengan struktur, yang mana pelaku memiliki relasi kuasa, posisi, dan jabatan yang lebih tinggi dari korban. Kekerasan seksual di tempat kerja juga menjadi hambatan bagi perempuan untuk pencapaian karir maupun jabatan politik.

7. Konstitusi Indonesia, UUD NRI 1945, menjamin setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, termasuk dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskriminatif. Pelecehan seksual di tempat kerja merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang disebabkan diskriminasi terhadap perempuan, sehingga negara berkewajiban untuk memenuhi hak konstitusional tersebut:

Pasal 28D ayat (2) UUD RI 1945:

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”

Pasal 281 Ayat (2) UUD RI 1945

“Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”

8. Tidaklah gampang bagi perempuan untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya, termasuk di tempat kerja, mengingat ketimpangan relasi yang ada. Apalagi jika Ia juga menghadapi stigma sosial pada perempuan kepala keluarga yang sebelumnya pernah menikah. Karenanya, Komnas Perempuan mengapresiasi dan mendukung keberanian Pelapor untuk bersuara atas pengalaman kekerasan seksual yang menimpanya.

9. Komnas Perempuan mencermati bahwa Pelapor juga telah melaporkan kasusnya kepada pihak kepolisian untuk diproses secara hukum sesuai dengan aturan dalam UU TPKS.

10. Komnas Perempuan menghormati proses penanganan yang sedang berlangsung dan penting proses ini untuk berpedoman pada mandat anti diskriminasi sebagai diatur dalam UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang memberikan perlindungan hukum bagi perempuan korban sebagai berikut:

Pasal 2:

(c) Menetapkan perlindungan hukum terhadap perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin perlindungan bagi kaum perempuan yang aktif terhadap setiap perilaku diskriminatif, melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya,

(d) Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktik diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini,

(e) Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi, atau lembaga apapun.

Menimbang informasi di atas, dan dalam rangka mencegah keberulangan, memutus impunitas pelaku, memulihkan korban dan menegaskan komitmen penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan berpandangan bahwa kasus ini perlu mendapatkan penanganan serius oleh berbagai pihak, khususnya Ketua Umum Partai Nasional Demokrat, dan Ketua Mahkamah Partai Nasdem. Komnas Perempuan, karenanya, merekomendasikan kepada Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem, agar “memproses segera laporan Pelapor tersebut di atas melalui mekanisme internal yang akuntabel dan mendukung upaya hukum pelapor atas kasusnya tersebut. ”

Demikian kami sampaikan surat rekomendasi ini. Sesuai dengan mandat, kami akan terus memantau perkembangan kasus ini. Bila ada informasi lanjutan yang dibutuhkan, Bapak dapat menghubungi Staf Komnas Perempuan Sdri. Fadillah di nomor HP/WA 0823-1121-4940 atau email fadillah@komnasperempuan.go.id. Atas perhatian dan kerjasama Dewan pimpinan Pusat Partai Nasdem terhadap berjalannya proses penanganan kasus ini, kami ucapkan terima kasih.

Tembusan:
1. Sdri. Ammy Amalia Fatma Surya
2. Majelis Kehormatan Dewan — DPR RI

Ketua Komnas Perempuan

Andy Yentrivani

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *