Oleh : Ustadz Munawir Kamaluddin
*ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجد لهم بالتي هي أحسن
*قُلِ اَلْحَقَّ، وَلَوْ كَانَ مُرًّا
Indonesia merupakan satu dari beberapa negara yang menganut dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi.
Salahsatu karakteristik negara demokrasi adalah kebebasan rakyat di dalam menyatakan pendapat, pikiran dan aspirasinya, termasuk kepada pemerintah bila ada hal yang menyimpang dan tidak tersalurkan sehingga perlu dikritisi secara obyektif dan rasional.
Sebagaimana juga rakyat berhak untuk memberikan apresiasi dan compliment bila ada tindakan negara yang dipandang sesuai atau berpihak kepada rakyat sebagai tindakan fair.
Sikap kritis adalah salahsatu buah dari demokrasi yang patut disyukuri agar tercipta keseimbangan dalam pemerintahan sehingga pengelolaan negara dapat berjalan sehat. Karena negeri yang kaya ini bukan milik perorangan, kelompok, agama, ataupun etnis tertentu, melainkan negeri ini adalah milik seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Marauke atau dari Miangas samapi pulau Rote.
Dewasa ini di negeri kita Indonesia Sebahagian rakyat ketika menilai pemerintah melakukan kesalahan, kritikannya seringkali mereka lakukan dengan aksi demo dalam rangka memberikan koreksi dan nasihat.
Beragam cara dan pola yang mereka lakukan. Aksi-aksi teatrikal yang menggambarkan perilaku penyimpangan pemerintah juga sering kali ditampilkan oleh pendemo, khususnya para aktivis dan mahasiswa.
Bahkan karena sebegitu kesal dan marahnya para pendemo kadang kritik rakyat yang ditunjukkan kepada pemerintah tampak sangat ekstrim dan keras baik secara lisan maupun tulisan tak terkecuali gambar-gambar yang terkesan terlulu vulgar.
ETIKA KRITIS
Dalam sebuah interaksi sosial , memberikan masukan berupa kritik adalah hal yang wajar untuk saling mengingatkan. Bahkan, bisa menjadi amal utama yang mendatangkan pahala besar bagi sang pengkritik. Bahkan dinilai sebagai manusia beruntung .QS. Ali Imran: 104:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita mengetahui etika mengkritik agar protes atau kritikan itu bernilai positif & ibadah. Sehingga kritikan bukan hanya sekedar menyampaikan pikiran atau pendapat tetapi juga pengimplementasian nilai-nilai etika dalam kehidupan berdemokrasi yang sehat & bermartabat.
Secara umum, kritik adalah sesuatu yang disampaikan dengan tujuan meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, serta membantu perbaikan suatu pekerjaan atau aktivitas.
Karena melalui kritik, orang yang dikritisinya akan bisa mengevaluasi kekurangan, memahami kesalahan, menjadi lebih maju dalam melangkah, termotivasi mencari solusi, dan membuat pikirannya lebih terbuka sehingga apa yang dilakukan atau kinerjanya menjadi lebih baik dan terus meningkat. Disinilah korelasi agama dan sikap kritis yang diajarkan Islam.
Sebagaimana dalam hadis dari Tamim Ad Dariy ra, Rasulullah Saw bersabda:
الدين النصيحة قلنا : لمن ؟ قال : لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya” (HR. Muslim)
Namun demikian, dalam menyampaikan kritik jangan asal main kritik. Kita harus hati-hati dalam memberi kritik dan tahu ilmunya. Karena tanpa kehati-hatian dan tanpa mengetahui etika mengkritik yang benar, dapat menimbulkan sesuatu yang destruktif (membahayakan) seperti perselisihan, permusuhan, dan perpecahan dan disintegrasi dlm sebuah bangsa atau tatanan sosial. Disinilah pentingnya yang dimaksud menyampaikan protes atau kritikan dengan cara santun & bijaksana (bil hikmah). QS. An-Nahel:125:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”
Bila kritikan destruktif ini terjadi maka kritik yang kita sampaikan tidak membawa kepada kebaikan dan kemaslahatan. Bahkan, menjadikan dosa dan terputusnya hubungan relasi yang harmonis (silaturahim )serta memunculkan kemafsadahan (kerusakan) yang banyak dan besar. Itu sebabnya, kritik harus disampaikan dengan benar dan mengikuti etika agar tidak menjadi ajang pelampiasan kemarahan atau ego si pengkritik atau melukai perasaan si penerima kritik karena cara yang digunakan menyalahi nilai etika & kesopanan yang menjadi karakteristik utama masyarakat Indonesia. Imam Ali Bin Abhi Thalib RA pernah berpesan:
إذا فقدت المال، لم تفقد شيء. وإذا فقدت الصحة، فقدت بعض الشيء. وإذا فقدت الأخلاق، فقدت كل شيء
“Jika kau kehilangan harta, kau belum kehilangan sesuatu apapun (dari yang kau punya), jika kau kehilangan kesehatan, kau telah kehilangan separuh sesuatu (yang kau punya), tapi jika kau kehilangan akhlak (etika), maka kau telah kehilangan segala-galanya.”
Lantas bagaimana dengan sikap dan perilaku rakyat dalam menyampaikan kritikannya yang selama ini yang disampaikan dengan suara lantang yang menyalahi etika agama dan aturan kesopanan?
Haruskah kritikan itu menggunakan dikasi atau narasi yang ekstrim yang kurang pantas didengar oleh telinga meskipun secara yuridis tidak bertentangan dengan undang-undang ketika yang menjadi obyeknya adalah pemerintah yang notabenenya penyelenggara negara karena delik aduan ?
Lalu bagaimana pula dengan etika pemerintah ketika menghadapi kritik rakyat? Apakah layak pemerintah bereaksi keras dan melakukan somasi terhadap rakyatnya yang melakukan kritik? Atau cukup ditanggapi dengan bijak tanpa harus menempuh jalur hukum meskipun oleh para simpatisannya ?
Hal ini penting untuk diketahui oleh rakyat agar didalam menyampaikan pendapatnya atau kritikannnya tidak hanya sekedar mengaksentuasikan pada aspek hukum semata melainkan juga harus tetap mengindahkan tata sopan santun dan etika di dalam mengemukakan keluhan atau protesnya.
Disamping agar kelak jika seseorang diserahi jabatan atau menduduki jabatan di pemerintahan atau instansi lain bisa mengingat dan mengaplikasikannya. Sehingga tidak terjadi kesalahan serupa.
Untuk menjawab hal tersebut, bisa diambil pelajaran kisah tentang Amirul Mukminin Umar bin Khattab
Ketika sedang berdiri menyampaikan Khutbah didepan rakyatnya :
“Wahai manusia, siapa pun di antara kalian yang melihat kebengkokan dalam diriku (dalam hal karakter, keputusan, dan sikap), maka biarkan dia meluruskan kebengkokan itu.”
Seseorang dari majelisnya berteriak, “Demi Allah, seandainya kami melihat kebengkokan itu ada padamu, kami akan meluruskannya dengan pedang kami.”
Umar kemudian berkata, “Segala puji hanya milik Allah, Yang telah menempatkan di negeri ini seseorang yang akan meluruskan kebengkokan Umar dengan pedangnya.”
Pada kesempatan yang lain Umar bin khattab juga pernah mengalami situasi bersama rakyatnya yang sedang mengeritiknya, sebagaimana dimuat dalam kitab Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu karya Prof. Wahbah Zuhaily. Beliau dikritik oleh seorang pemuda:
قَالَ رَجُلٌ لِعُمَرَ اِتَّقِ الله ياَ عُمَرُ فَقَالَ آخَرُ أَلِمِثْلِ أَمِيْرِ اْلمُؤْمِنِيْنَ يُقَالُ مِثْلُ هَذَا اْلكَلاَمِ فَأَجَابَ عُمَرُ لاَ خَيْرَ فِيْكُمْ إِنْ لَمْ تَقُوْلُوْهَا وَلاَ خَيْرَ فِيَّ إِنْ لَمْ أَسْمَعْهَ
“Seorang laki-laki berkata pada Umar ra.: “Bertaqwalah! Wahai Umar. “Lalu pemuda lain menyahut: “Layakkah ungkapan itu ditujukan pada seorang Amirul Mukminin (Pemerintah)?. Dengan bijak Umar menjawab: “Tidak ada kebaikan pada diri kalian apabila kalian tidak mengatakannya (kalimat taqwa) dan tidak pula ada kebaikan dalam diriku apabila aku tidak mau mendengarnya (dari kalian).
Demikian halnya dalam kehidupan Rasulullah SAW. Beliau bukanlah seorang pemimpin yang anti kritik, bahkan beliau membuka diri dlm menerima berbagai keritikan sepenjang untuk kebaikan dan kemaslahatan.
Bahkan beliau bersedia merubah kebijakannya bila ditemukan ada pandangan dari rakyatnya yang lebih efektif dan konstruktif . Krn itu Rasulullah SAW. merasa dirinya adalah manusia biasa yang perlu masukan dari orang lain dan sahabat-sahabatnya. Beliau tidak pernah egois dan apriori sehingga berusaha mempertahankan pendapatnya, melainkan terbuka menerima pendapat orang lain.
Dalam sebuah riwayat di ceritrakan Saat terjadi perang Badar, pasukan Muslimin berhenti di sebuah sumur yang bernama Badar dan Beliau memerintahkan untuk menguasai sumber air tersebut sebelum dikuasai musuh.
Salah seorang sahabat yang pandai strategi perang, Khahab Ibn Mundzir RA berdiri menghampiri Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah apakah penentuan posisi ini adalah wahyu dari Allah atau hanya strategi perang?
Beliau menjawab, “Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan strategi perang.” Kemudian Khahab menjelaskan, “Wahai Rasulullah, jika demikian tempat ini tidak strategis. Lebih baik kita pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat markas di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya.
“Kita buat lubang-lubang dekat perkemahan dan kita isi dengan air sampai penuh, sehingga kita akan berperang dan mempunyai persediaan air yang cukup. Sedangkan musuh tidak mempunyai persediaan air minum,” kata Khahab.
Apakah Rasulullah SAW marah dikritik oleh Khahab? Tidak, beliau berpikir lalu menyetujui kritikannya sambil tersenyum. “Pendapatmu sungguh baik.” Malam itu juga, Rasulullah SAW dan para sahabat melaksanakan usulan dari Khahab tersebut. Dimana akhirnya kaum Muslimin memenangkan peperangan tersebut dengan telak.
ETIKA DALAM MENYAMPAIKAN KRITIKAN KEPADA PEMERINTAH
Menyampaikan kritik atau protes kepada pemimpin atau penguasa boleh-boleh saja dalam Islam, bahkan termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar. Sepanjang kritik yang disampaikan sesuai dengan kaidah dan etika kriitik yang sopan dan bijak, dengan tujuan untuk membangun kemaslahatan yang lebih positif dan lebih baik.
Allah SWT. Ketika memerintahkan Nabi Musa AS.bersma Nabi Harun AS. untuk berdakwah & mengkritisi pemerintahan Firaun yg terkenal sangat dzalim & kejam itu , tetap membekali dengan beberapa etika berdakwah seperti dalam firman-Nya pada QS. Taha:43-44:
اذهبا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَا
“Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas”
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Ayat ini mengandung pelajaran yang penting, yaitu sekalipun Firaun adalah orang yang sangat membangkang dan sangat takabur, juga seorang pemimpin yg diktator, sedangkan Musa adalah makhluk pilihan Allah saat itu, Musa tetap diperintahkan agar dalam menyampaikan risalah-Nya kepada Firaun ( kritik ) haruslah memakai bahasa dan tutur kata yang lemah lembut dan sopan santun
Karena itu beberapa etika kritik yang perlu diperhatikan sebelum atau pun ketika menyampaikan kritik, yaitu: (1) kritik yang disampaikan merupakan nasihat dengan tujuan untuk saling mengingatkan; (2) bertujuan untuk amar makruf nahi mungkar; (3) menyampaikan kritik yang sopan, penuh hikmah, dan prasangka yang baik; (4) apa yang disampaikan harus jujur dan benar; dan (5) tidak memiliki prasangka buruk, tidak mencaci-maki, tidak menghina, dan tidak merendahkan orang lain. Hal ini sebagaimana yg dinasihatkan o/ kesepakatan para ulama :
وأول ما يجب على الناقد أن يكون نقده نصيحة، والقيام بواجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وأن يقدم النقد بأسلوب الحكمة واللطف وحسن الظن، وأن يتحرى الصدق والصواب بما يقول، ويجتنب سوء الظن والسب والشتم والسخرية والاستهزاء لأن هذا كله من كبائر الذنوب
“Dan kewajiban pertama bagi orang yang mengkritik adalah kritiknya harus berupa nasihat; bertujuan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar; menyampaikan kritik dengan cara bijaksana, lemah lembut, dan prasangka yang baik; apa yang disampaikan harus berupa kejujuran dan kebenaran; menghindari prasangka buruk, memaki, mengutuk, mengejek, dan mencemooh, karena semua ini merupakan bagian dari dosa besar.”
Inilah lima etika penting yang harus dipenuhi sebelum menyampaikan kritik pada penguasa, maupun manusia pada umumnya. Dengan memperhatikan etika2 tersebut, maka kritik akan menjadi salah satu poin penting dan determinan dalam membangun suatu bangsa menjadi bangsa yang lebih aman, damai, rukun, dan makmur serta diberkahi Allah SWT.
SIKAP PEMIMPIN DALAM MENANGGAPI KRITIKAN
Pemimpin bijak adakah pemimpin yg harus siap menerima kritikan dengan lapang dada, siap diberi saran sekalipun itu dari bawahannya bahkan rakyatnya serta harus selalu terbuka dan transparan agar tidak menimbulkan fitnah atau kerawanan yg bisa menjadi cela untuk dipertanyakan atau dipermasalahkan. Seorang pemimpin tdk boleh picik dan kerdil hatinya manakala menghadapi gelombang keritikan apatalagi sebagai pejabat publik yg salahsatu konsekuensi logisnya adalah siap menerima respon apapun baik menyenangkan maupun yg pahit & pedas. QS: AL-Anfal :125:
فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ يَشْرَحْ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَامِۚ وَمَنْ يُّرِدْ اَنْ يُّضِلَّهٗ يَجْعَلْ صَدْرَهٗ ضَيِّقًا حَرَجًا كَاَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَاۤءِۗ كَذٰلِكَ يَجْعَلُ اللّٰهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
“Siapa-siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, maka Dia W melapangkan dadanya. Dan siapa-siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, maka Allah menjadikan dadanya sesak dan sempit….” (QS. Al-Anfal/6: 125).
Salah satu langkah positif dlm merespon setiap kritikan yang datang agar dapat membuat dada atau hati menjadi lapang adalah hendaknya kritikan itu dilihat sebagai sesuatu yang baik dan mendatangkan manfaat, disamping melihat kritikan itu sebagai bukti kepedulian bawahan atau rakyat kepada pemimpinnya, juga kesadaran bahwa setiap orang memiliki kelemahan dan keterbatasan sehingga perlu mendapat masukan dari pihak lain termasuk dari mereka yang kadang berseberangan dengan pemerintahan (oposisi), sehingga pemerintah tidak perlu terlalu egois dan menafikan pandangan yang datang dari luar pemerintahan sepenjang untuk memperbaiki keadaan.
Bahkan sekalipun tidak sejalan dengan pandangan pemerintah, kritikan itu tetap dipandang sebagai sesuatu yg lumrah . Apalagi kita yg hidup dialam demokrasi pro dan ontra adalah hal yang biasa.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar berlapang dada menerima kritikan itu adalah dengan meminta pertolongan Allah melalui menajad kepada-Nya. diantara do’a yang diajarakan AL-qur’an agar seseorang mampu memiliki jiwa lapang dada seperti apa yg do baca o/ nabi Musa AS. QS: Toha:25:
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.”
Sehingga dengan demikian kritik itu ibarat pedang, bisa berguna dan mendatangkan manfaat namun jg bisa menjadi malapetaka dan ancaman, tergantung diri dari bagaimana menyikapinya. Kebanyakan orang-orang yang berpikiran negatif akan menanggapi kritik sebagai senjata yang menghunus dirinya sehingga berusaha menghindar dan membela diri.
Sebaliknya orang-orang yang berpikir positif selalu menjadikan kritik sebagai cermin yang memberi gambaran diri yang sebenarnya, menjadi motivasi untuk berbenah diri, menjadi motor penggerak untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada serta menjadi penyeimbang manakala terlena dengan kekuasaan yang kadang tanpa kontrol. Karena itu sejatinya kritikan harus dinilai sebagai vitamin penambah imun yang akan membantu memberikan kekuatan dan energi agar lebih tangguh dan berwibawa menjalani tanggung jawabnya ke depan.
الله أعلم بالصواب
*Penulis Tinggal Di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan