BEKASI – Sidang kasus pembobolan dana salah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR-red) kembali digelar Pengadilan Negeri (PN-red) Kota Bekasi, Kamis (3/2/2022). Agenda sidang hari ini adalah penyerahan bukti pencairan dana deposito nasabah oleh terdakwa ECD, ada yang menggelitik awak media untuk menelisik lebih lanjut saat penyerahan bukti yang dilakukan oleh pihak BPR MP karena bilyet deposito yang dibawa oleh Direktur BPR MP ternyata terdapat beberapa bekas tipe-ex atau penghapus tinta pena di bukti bilyet deposito nasabah tersebut.
Selesai sidang awak media langsung meminta keterangan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU-red) dan juga anggota majelis hakim pemimpin sidang, namun JPU dan anggota majelis hakim tersebut tidak bersedia untuk memberikan keterangan perihal jalannya sidang. Begitupun dengan manajemen BPR MP tidak bersedia memberikan keterangan.
Para awak media tersebut segera bergegas meminta keterangan kepada kuasa hukum terdakwa ECD, Bilher Situmorang. SH, pria yang akrab disapa bang Bilher itu pun menjelaskan kepada awak media “bahwa pada saat pihak BPR MP menyerahkan bukti berupa copyan bilyet deposito nasabah atas nama Muhammad Iswadi terdapat beberapa bekas coretan tipe-ex diatas bilyet tersebut, hal itu membuat tanda tanya besar untuk kami kok bisa bilyet yang ada bekas coretan tipe-ex dana deposito nasabah dicairkan? Bagaimana ketelitian dari seorang direksi dalam perusahaan tersebut? Seorang direktur itu kan harus benar-benar teliti dalam melihat kata perkata dan nilai rupiah, namanya juga lembaga keuangan atau perbankan 1 rupiah saja jika terjadi selisih maka akan tidak matching untuk pelaporan keuangan. Seorang Direktur ataupun accounting perusahaan perbankan itu harus jeli dan teliti dalam melihat hal tersebut, jangan hanya melihat tanda tangan basah semata, berarti asas Prudential nya tidak dijalankan.” Jelas Bilher Situmorang. SH.
Dalam kesempatan yang sama kuasa hukum terdakwa lainnya, Harris Hutabarat. SH menambahkan “sebenarnya pencairan deposito itu kan ada standart operasional procedur (SOP-red), harusnya nasabah yang ingin mencairkan depositonya membawa bilyet deposito aslinya, dibelakangnya ada stempel basah yang dibubuhi tanda tangan si nasabah, lalu dibawa ke Customer Service (CS-red), CS hanya medaftarkan atau meregistrasi nasabah yang ingin mencairkan depositonya, kemudian bilyet deposito tersebut diserahkan ke atasannya (Direktur Operasional-red untuk dicheck atau diparaf, lalu diserahkan ke Direktur Utama sang pemberi kebijakan. Setelah proses tersebut berjalan biasanya Dirut akan memberikan 2 kebijakan pencairan, pencairan dilakukan melalui E-Banking atau cash (tunai). Jika pencairan secara cash tentu harus melalui cek, cek tersebut dapat dicairkan sesuai dengan nama yang tertera di cek tersebut, dan pencairan cek bukan atas kewenangan CS, biasanya pihak bank akan memberikan kuasa kepada seseorang atau messenjer yang dipercaya untuk melakukan pencairan, bukan Customer Service.” Terang Harris.
Harris menambahkan “persoalan yang kita hadapi ini, ternyata duit (deposito) yang dicairkan itu untuk membayar deposan (nasabah deposito) lain yang juga nasabah BPR teesebut sebagaimana yang tercantum di dalam Berita Acara Penyidikan (BAP-red), sebenarnya kerugian BPR ini dimana? ini yang tidak diurai oleh penyidik.”
“Sekali lagi yang menjadi tanda tanya besar kami, kok pihak direksi BPR tidak mengerti duit diambil atau dicairkan lalu ditransfer ke pihak lain yang notabene juga sebagai nasabah BPR tersebut? Apakah memang tidak ada pencatatan kas keluar dan kas masuk? Karena perusahaan perbankan itu wajib melakukan pencatatan hilir mudik uang sekalipun seribu rupiah. Patut diduga, apakah ini memang benar perbuatan daripada si CS tersebut, ini yang tidak diuraikan oleh si penyidik.” Imbuh Harris.
“Apakah si CS diberikan kewenangan sebagai direktur dan diberi kewenangan sebagai manajer operasional, sehingga tanpa persetujuan dan procedure yang lain dapat mencairkan deposito seorang diri, begitu dicairkan dia transfer lagi kepada nasabah yang lain. Unik persoalan ini.” Kata Harris.
Iga Made Agung. SH menambahkan, “Persyaratan pencairan dari pada Deposito harus memenuhi minimal 3 persyaratan :
1. Deposan datang ke Bank membawa asli Deposito.
2. Asli Bilyet Deposito harus sesuai dengan copy Deposito yang ada di Bank.
3. Harus ada bukti pencairan apakah uang deposito diterima tunai atau ditransfer ke rekening Deposan.
Kalau salah satu persyaratan tersebut tidak ada bagaimana bank merasa dirugikan dan dimana letak kerugian bank?
Apalagi copy Deposito yang diperlihatkan bank dalam persidangan penuh dengan coretan atau penghapusan, kenapa bisa lolos, karena sebelum cair seharusnya dilakukan pemeriksaan oleh bagian operasional dan disetujui oleh Direksi,
Dan kemana internal audit sebagai penjaga gawang Bank, kenapa ada pembiyaran dan kenapa lolos dari penyidikan karena mereka mereka itu seharusnya ikut bertanggung jawab karena kelalaian, bukannya CS yang dikorbankan seorang diri.” Tambah Iga Made.
Tim kuasa hukum terdakwa ECD yang lainnya, Erlina Giawa. SH menimpali “sungguh unik persoalan ini, jika dikupas lebih dalam lagi perihal kenapa baru setelah 6 tahun lamanya pihak BPR MP merasa kebobolan 8,5 Miliar padahal setiap tahunnya pihak bank wajib membayarkan bunga deposito kepada nasabah atau deposan dan atas bunga tersebut pihak bank wajib membayarkan pajak kepada pemerintah, apa iya selama 6 tahun pajak-pajak deposito ini tidak dibayarkan?” Tanya Erlina.
“Dapat diduga BPR MP ini telah melakukan penggelapan pajak atau diduga tidak membayarkan pajak selama 6 tahun, dan terdapat beberapa atasan atau dewan direksi BPR MP yang diduga terlibat akibat kelalaiannya dalam menjalankan prosedur penarikan dana nasabah. OJK serta lembaga perbankan pemerintah lainnya harus turun tangan menyelidiki serta menyelesaikan persoalan tersebut.” Pungkas Erlina dengan penuh harap.
(CP/red)