Hal ini terpikirkan saat saya sedang berada dalam perjalanan pulang dari kantor saya di Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam pikiran saya, entah bagaimana, Prabowo Subianto selalu terjebak dalam pola yang sama, dan saya yakin banyak orang sudah menyadarinya.
Di tahun 2014, setelah cerai dengan PDIP yang tidak mematuhi Perjanjian Batu Tulis, Prabowo harus melawan seseorang yang pernah di dukung olehnya di Pilkada DKI Jakarta: Jokowi.
Menariknya, Prabowo merangkul sebagian besar anggota Sekretariat Bersama Koalisi Pemerintahan SBY, mulai dari Golkar, PPP, PAN, dan PKS. Demokrat walau selalu menyebut partainya netral, juga berada dalam koalisi ini.
Padahal, selama periode 2009 hingga tahun 2014, Gerindra bersama Hanura dan PDIP adalah trio oposisi pemerintahan SBY.
Tapi selama kontestasi Pilpres tahun 2014, Prabowo justru menjadi respresentasi dari kelanjutan pemerintahan SBY. Prabowo gagal menjadi antithesa dan tokoh perubahan, yang kemudian menjadi jalan bagi Jokowi untuk terpilih sebagai Presiden.
Pola yang sama kini terulang. Dari tiga calon Presiden populer versi berbagai survey, nama Prabowo dan Ganjar di respresentasikan sebagai kelanjutan pemerintahan Jokowi.
Prabowo yang mengambil posisi Menteri Pertahanan di pemerintahan Jokowi, di nilai banyak pihak menjadi keberlanjutan dari era Jokowi, apalagi setelah banyak sinyal dukungan Jokowi pada pencalonan Prabowo.
Sedangkan nama Anies, tokoh yang di dukung oleh Prabowo di Pilkada DKI Jakarta, di respresentasikan sebagai sosok antithesa dan tokoh perubahan.
Pola yang sama berulang. Prabowo terjebak dalam pola yang sama, dan beliau seperti tergelicir untuk kedua kalinya dalam lubang yang sama, terutama jika nantinya Anies benar maju dalam kontestasi Pilpres tahun 2024.
Pikiran aneh tentang ‘Pola Prabowo’ ini mengisi perjalanan saya dari Kuningan menuju rumah. Banyak orang mengaitkan ‘Pola Prabowo’ ini dengan perkataan Gus Dur yang mengatakan bahwa Prabowo adalah orang paling ikhlas untuk Indonesia.
Saya justru lebih suka mengaitkannya dengan pribahasa yang menyarankan kita untuk tidak jatuh di lubang yang sama, untuk kedua kalinya.
Oleh: Muhammad Syaifulloh, Ketua Umum DPP Angkatan Muda Khatulistiwa