By: Wicaksono
Pagi ini saya membaca tulisan Sri Mulyani (SMI) di akun Instagram pribadinya dengan perasaan campur aduk. Kita tahu, rumahnya baru saja dijarah habis-habisan oleh massa, entah siapa dan dari mana.
Dari tulisan berjudul “Lukisan Bunga Itu” terlihat betul nuansa emosi yang cukup kompleks. Ada beberapa lapisan rasa yang tumpang tindih, sehingga tidak bisa disebut hanya marah, hanya sedih, atau hanya berduka.
Kemarahan terasa jelas ketika SMI menggambarkan penjarah yang keluar dengan tenang, percaya diri, bahkan diwawancara dengan nada bangga.
Kata-kata seperti “absurd”, “hilang akal sehat”, “runtuh rasa perikemanusiaan” menunjukkan amarah pada absurditas situasi: bagaimana masyarakat bisa menganggap penjarahan sebagai tontonan, bahkan pesta, sementara luka dan kerugian orang lain diabaikan.
Tulisan SMI bukan sekadar marah pada pelaku, tapi juga pada sistem sosial dan media yang memperkuat histeria.
Di balik amarah, teks itu sarat kesedihan. Kesedihan bukan hanya karena lukisan pribadi yang raib—yang dilukiskan sebagai simbol perenungan dan kenangan keluarga—melainkan juga karena hilangnya rasa aman, kepastian hukum, dan nilai kemanusiaan.
Ketika SMI menyebut nama-nama korban yang meninggal, duka menjadi nyata. Ada luka kolektif, duka yang melampaui kehilangan pribadi, menjelma tragedi kemanusiaan yang melukai seluruh bangsa.
Di bagian akhir, ada nada yang mendekati keputusasaan. SMI menulis, “dalam kerusuhan tidak pernah ada pemenang”, menandakan rasa putus asa terhadap logika kekerasan.
Namun, masih ada upaya keras untuk meneguhkan harapan, “Indonesia adalah rumah kita bersama. Jangan biarkan dan jangan menyerah…”.
Kalimat ini terdengar seperti doa, bukan sekadar pernyataan, menunjukkan bahwa SMI sedang berusaha mempertahankan secuil harapan di tengah rasa runtuh.
Kemarahan pada Media
Buat saya, ada satu bagian dari teks itu yang menusuk hati saya lebih dalam daripada cerita tentang penjarahan itu sendiri. Bukan hanya soal lelaki berjaket merah yang dengan tenang mengangkut lukisan, atau tentang raibnya simbol kenangan pribadi yang digambarkan begitu penuh emosi.
Yang lebih membuat hati bergejolak adalah bagaimana media, yang seharusnya menjadi pengawal akal sehat publik, justru ikut menormalisasi absurditas.
Bayangkan, di tengah rumah yang porak-poranda, di tengah luka pribadi yang baru saja digoreskan, ada seorang reporter yang dengan enteng bertanya kepada pelaku penjarahan: “Dapat barang apa, Mas?” dan jawaban yang diterima—dengan nada setengah bangga—adalah: “Lukisan.” Seolah-olah itu adalah hasil belanja tengah malam di pusat perbelanjaan, bukan hasil kejahatan yang meninggalkan luka.
Di titik itu, kita bisa merasakan betapa Sri Mulyani bukan hanya kehilangan lukisan atau rasa aman, tapi juga kehilangan kepercayaan pada media. Karena ketika media sudah turun ke titik di mana tragedi diperlakukan seperti bahan hiburan, maka luka seseorang menjadi tontonan, penderitaan orang lain menjadi konten, dan duka kolektif bangsa tereduksi menjadi “headline sensasional” yang mendulang klik.
Kemarahan SMI kepada media bukanlah tanpa alasan. Media punya posisi istimewa dalam masyarakat. Ia bukan sekadar jendela informasi, tapi juga cermin akal sehat bersama. Media yang sehat bisa menguatkan masyarakat, memberi arah, memberi harapan. Namun, media yang kehilangan empati justru bisa melukai lebih dalam daripada penjarah yang masuk lewat jendela rumah.
Kita bisa memahami mengapa SMI begitu geram. Saat ia melihat rumahnya dijarah, ia tahu betul siapa pencurinya. Ia bisa menunjuk lelaki berjaket merah itu, bisa membayangkan wajah dingin di balik helm hitam. Tapi ketika media memberitakan penjarahan itu dengan nada ringan, siapa yang bisa ia salahkan? Media bukan satu orang. Ia sebuah institusi, sebuah sistem, sebuah mesin besar yang seharusnya punya nurani.
Maka amarah itu bukan lagi sekadar marah pada individu jurnalis yang bertanya. Itu marah pada cara kerja media yang mengubah tragedi menjadi sensasi, yang memeras luka menjadi bahan bakar klik, yang melupakan bahwa di balik berita ada manusia yang tersakiti.
Dalam tulisan di Instagram, SMI menyebut liputan penjarahan itu “diviralkan secara sensasional.” Kata sensasional ini penting. Ia menunjukkan bagaimana penderitaan pribadi justru didorong lebih jauh ke ruang publik, bukan untuk membangun empati, tapi untuk memancing keterkejutan, histeria, bahkan tawa.
Kita sudah sering melihat pola ini. Video kecelakaan ditayangkan tanpa sensor, keluarga korban diwawancara dengan pertanyaan menusuk di saat mereka masih syok, berita kriminal dipoles sedemikian rupa hingga terasa seperti drama serial. Semua demi angka, demi rating, demi klik.
Di satu sisi, media memang hidup dari perhatian publik. Tapi bukankah ada batas etika? Bukankah ada garis halus yang memisahkan “memberitakan” dari “memperjualbelikan duka”?
Yang membuat amarah SMI terasa sangat relevan adalah bagaimana ia menggambarkan hilangnya rasa perikemanusiaan dalam liputan itu. Bayangkan, seorang penjarah diwawancara dengan nada ringan, seolah ia hanya konsumen di pasar malam. Bukankah itu bentuk pergeseran empati yang paling ekstrem?
Reporter, kameramen, redaktur—semuanya terlibat dalam proses itu. Mungkin tidak ada niat jahat. Mungkin mereka hanya bekerja, mengikuti perintah, mencari bahan liputan. Tapi di sanalah letak masalahnya: ketika kerja jurnalisme kehilangan rasa, yang tersisa hanyalah rutinitas kosong yang bisa melukai orang lain tanpa sadar.
Sri Mulyani marah karena empati itu hilang. Dan hilangnya empati dari media bukan hal kecil. Ia meruntuhkan kepercayaan, ia merusak ikatan sosial, ia membuat korban merasa sendirian dalam duka.
Kemarahan penulis pada media juga bisa dibaca sebagai kemarahan pada bangsa ini. Karena media adalah cermin kita. Apa yang media angkat, bagaimana media memberitakan, itu mencerminkan apa yang kita anggap penting, apa yang kita anggap pantas ditonton.
Jika media memilih sensasi, mungkin karena kita sebagai audiens juga gemar mengonsumsinya. Jika penderitaan orang lain dijadikan tontonan, mungkin karena kita sendiri yang diam-diam menikmatinya. Di titik ini, kemarahan penulis tidak hanya diarahkan keluar, tapi juga ke dalam diri kita sebagai bagian dari masyarakat yang ikut melanggengkan pola itu.
Ada ironi yang pahit dalam situasi ini. Sri Mulyani kehilangan lukisan yang penuh makna pribadi. Itu sudah luka yang dalam. Luka itu diperparah ketika media memberitakan penjarahan dengan nada ringan dan sensasional.
Artinya, media tidak hanya gagal meredakan luka, tapi justru menorehkan luka baru. Media menjadi penjarah kedua—bukan penjarah benda, tapi penjarah perasaan. Dan mungkin itulah yang membuat penulis benar-benar marah: ia tidak hanya merasa kehilangan barang, tapi juga kehilangan martabat, kehilangan rasa bahwa penderitaannya dihormati.
Tulisan SMI, bagi saya, adalah alarm keras bagi dunia media di Indonesia. Ia menunjukkan betapa mudahnya media tergelincir dari fungsi mulia menjadi sekadar mesin hiburan. Betapa berbahayanya ketika empati ditukar dengan rating, ketika tragedi dikemas seperti reality show.
Kita bisa merasakan betapa getirnya hati Sri Mulyani. Ia menutup tulisannya dengan ajakan untuk menjaga Indonesia, untuk tidak menyerah pada kekuatan yang merusak.
Itu bukan hanya seruan politik atau sosial. Itu juga pesan tersirat untuk media: kembalilah pada nurani, kembalilah pada fungsi aslinya, jangan biarkan sensasi membunuh kemanusiaan. (*)