Oleh : Kamaluddin, Mahasiswa Ilmu Politik Pascasarjana Universitas Nasional
Saya teringat dengan sebuah tulisan yang berjudul “Socrates Mati di Negara Demokrasi”. Sebuah catatan kritis yang mengungkap tabir bagaimana seorang filsuf yang memperjuangkan perihal HAM, Demokrasi dan kebebasan berekspresi bagi setiap individu mati dalam kondisi yang mengenaskan lantaran tak sejalan dengan Kerajaan pada era itu.
Socrates tidak hanya dibungkam lantaran pikiran-pikirannya yang membuat Raja Athena terusik namun dia juga dipaksa minum racun untuk mengakhiri hidupnya. Kisah perjuangan Socrates itulah yang hingga kini memberikan kita kebebasan yang disebut Demokrasi.
Yah Demokrasi sesuatu yang sangat dieluh-eluh oleh beberapa negara lantaran sistem ini telah memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada setiap individu untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, memberikan suaranya dan memberikan jalan bagi setiap individu untuk menjadi seorang pemimpin.
Demokrasi bagaikan sebuah api unggun yang menyala di padang pasir di tengah gemerlapnya malam. Dia tidak hanya memberikan cahaya tapi juga memberikan jalan bagi setiap individu yang terkena percikan sinarnya.
Di Indonesia sendiri konsep Demokrasi mengalami pasang surut dan berubah-ubah. Di era Orde Lama, Demokrasi dikenal sebagai awal perkenalan bagi negara yang baru merdeka itu. Soekarno menyebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin.
Begitupun memasuki Orde Baru di bawah pemimpin yang dikenal sebagai otoritarian Soeharto mengalami pergeseran frasa yaitu menyebutnya sebagai Demokrasi Pancasila.
Demokrasi dimaknai sebagai asas yang tunggal sesuai amanat Pancasila. Pasca runtuhnya kepemimpinan Soeharto lalu disebut era Reformasi membuka sebuah kerang baru untuk proses Demokrasi di Indonesia.
Reformasi bagi sebagian golongan menyebutnya sebuah jalan menuju kejayaan berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara. Reformasi dimaknai sebagai peletak dasar Indonesia hingga menjadi negara Demokrasi yang seutuhnya.
Sekitar tahun 2004 lalu awal mulai Pemilu secara langsung dimulai. Jalan panjang yang begitu kelam selama 32 tahun menjadikan warga negara bagaikan burung yang baru keluar dari sangkarnya. Betapa tidak sekitar 32 tahun lamanya warga negara hanya dijadikan sebagai sapi perah oleh negara. Namun seiring berjalannya waktu Reformasi yang kebanyakan orang eluh-eluhkan justru akhir-akhir ini menjadi sebuah bomerang dan alat untuk meringkus beberapa warga negara.
Kebebasan bagi setiap warga negara justru kini bagaikan menelan sebuah pil pahit yang membunuh secara perlahan. Kenapa demikian terjadi? Sebab Reformasi yang diagung-agungkan justru digunakan sebagian mantan “aktivis” Orde Baru sebagai alat untuk membodohi masyarakat dengan menggunakan lembaga-lembaga Demokrasi seperti KPU dan Bawaslu untuk membungkam hak konstitusinya.
Aktivis-aktivis itulah yang masuk di lingkaran Istana dan menjadi pembisik Istana sehingga beberapa aturan konstitusi sengaja ingin ditabrak.
Baru-baru ini narasi soal Pemilu sistim proporsional tertutup kembali digaungkan oleh beberapa partai dan kelompok yang pernah berjuang atas nama Demokrasi. Mereka dengan enteng menyebut bahwa pemilihan secara terbuka itu justru akan melahirkan kelompok oligarki yang semakin kuat dan mengusai parleman. Padahal justru secara nyata sistem proporsional tertutup bagaikan berjudi di belakang layar. Konstituen (masyarakat) tidak mengetahui siapa anggota dewan yang mereka pilih ketika tertutup itu dilaksanakan. Ibarat membeli kucing di dalam karung itulah kata yang tepat disematkan itukah kata yang tepat untuk sistim ini.
Tahun lalu narasi perpanjangan tiga periode begitu getol digaungkan oleh kelompok Istana dan koleganya seakan ingin mengebiri sebuah sistem yang ada namun gagal lantaran banyak yang protes.
Ditambah pembungkaman warga negara dengan terbitnya UU ITE yang setiap saat mengintai mereka. Apakah ini yang disebut dengan demokrasi (?)
Meminjam bahasa dari Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya “Bagaimana Demokrasi Mati”. Dia menggambarkan bahwa kerusakan Demokrasi sepanjang sejarah, dimulai dari polarisasi esktrim dari para elite. Mereka menggunakan institusi Demokrasi seperti KPU, Bawaslu untuk membunuh Demokrasi itu sendiri dengan dalih penyelematan bangsa, negara dan bla-bla,bla.
Kita seakan dipaksa untuk ikut dengan aturan yang ingin mereka buat dengan menabrak konstitusi yang sudah ada. Yahh memang benar apa yang dikatakan oleh Niccolo Machivelli bahwa dengan cara apapun kekuasaan itu harus direbut bahkan dengan membunuh manusia sekalipun jika itu menjadi salah satu jalan terbaik untuk mendapatkan kekuasaan. Polarisasi inilah yang coba dilakukan dengan dalih penyelamatan anggaran negara dan proses keamanan negara.
Demokrasi yang seharusnya menjadi jalan perjuangan untuk menegakan keadilan justru berubah wujud menjadi alat untuk pengontrol warga negara dengan alasan Hoax dan ketertiban.
Yah kita dibungkam di Negara yang Demokrasi, beberapa aksi mahasiswa yang akhir-akhir berujung pembubaran secara paksa dan pemenjaraan yang sepihak oleh pemilik kekuasaan. Ini salah satu bukti lemahnya lembaga-lembaga pemerintah yang ada di negara kita.
Demokrasi yang diidam-idamkan ternyata bukanlah jalan tepat untuk menjawab krisis yang ada saat ini. Demokrasi yang di maknai oleh Socrates sebagai jalan perebutan ruang hidup, temat untuk membuka jalan kebebasan bagi setiap warga negara dan ruang hak untuk menentukan pemimpin dengan dipilih oleh warga negara dengan yang menjalan hak setiap masyarakat justru dikerdilkan dengan proporsional tertutup itu.
Sistem proporsional tertutup justru menjauhkan anggota dewan yang dipilih dengan konstituennya.
Seharusnya kejadian beberapa ratus tahun lalu menjadi sebuah pelajaran untuk semua kalangan kususnya para elite kekuasaan di Indonesia agar menjadikan Demokrasi bukan hanya berakhir di Pemilu atau di ruang-ruang pembagian jabatan saja tapi jalan untuk semua masyarakat dalam mendapatkan kemerdekaan seutuhnya.
Justru pembungkaman itu kembali terulang di negara yang juga menganut sistem Demokrasi. Demokrasi yang menjadi tulang punggung negara dan cikal bakal hadirnya Reformasi kini justru menjadi sebuah bumerang untuk beberapa kelompok yang tidak sepaham dengan panguasa.
Sebenarnya dalam konteks Indonesia, bukan hal baru perihal pembunuhan terhadap Demokrasi di era Orde Lama sistem Demokrasi Terpimpin dengan mengangkat Presiden seutuhnya merupakan pembunuhan terhadap Demokrasi. Sebab, tidak diberikannya ruang kepada warga negara untuk bisa dipilih dan memilih. Begitupun di era Orde Baru, sistim Demokrasi Pancasila justru memaksa organisasi dan lembaga-lembaga yang ada dipaksa untuk ikut dengan aturan main pemerintah. Bahwa semua harus taat dan patuh di bawah komando pemerintah atau yang sering disebut sebagai asas tunggal Pancasila.
Di tambah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seperti aplikasi hijau dipakai ketika ada orderan masuk. Hehe lucu namun itu lah faktanya saat ini. KPK justru menjadi alat pengontrol untuk membunuh ketika ada kelompok maupun individu yang berseberangan dengan negara. Seakan tebang pilih dalam memberantas korupsi.
Kondisi saat ini kita sulit menemukan lembaga apa yang harus kita percaya bahwa mereka berjuang atas nama Demokrasi yang betul-betul substansial.
Pembungkaman aktivis ataupun pejuang HAM di negara Demokrasi seperti air dan minyak selalu tidak sejalan. Hariz Azhar, Fathia ini hanya sebagian kecil nama dan masih banyak lagi sejumlah nama, tokoh mahasiswa dan pejuang Demokrasi menjadi korban dari kekejaman para elite yang menggunakan UU ITE untuk membungkamnya.
Padahal jika kita mau melihat lebih dekat substansi dari Demokrasi sebenarnya merupakan sebuah jalan untuk negara dalam menegakan keadilan bagi setiap warga negara. Namun faktanya negara justru menghilangkan hak kebebasan di negara Demokrasi ini. Contohnya kebebasan sipil, kebebasan berekspresi, kebebasan hak memilih dan dipilih dan kebebasan untuk meneriakan lawan korupsi justru menjadi musuh oleh negara.