Pernyataan Ketua Komisi III DPR RI beberapa waktu lalu saat rapat bersama Menkopolhukam menjadi isu yang ramai diperbincangkan publik, pada kesempatan tersebut secara gamblang Ketua Komisi III mengakui bahwa dirinya belum bisa menindaklanjuti usulan Undang-undang perampasan aset dan pembatasan transaksi uang kartal bila belum ada perintah dari ketua partai, tak sampai disitu ia juga menyinggung bahwa semua anggota DPR tidak bisa berbuat banyak di legislatif tanpa ada persetujuan dari ketua partai.
Pengakuan tersebut membuka tabir bahwa pada praktiknya wakil rakyat yang duduk di DPR tidak murni berbuat untuk kepentingan rakyat, tetapi mereka bertindak dan memutuskan sesuatu berdasarkan kepentingan ketua partai. Hal ini tentu bukan kabar yang menggembirakan, pengakuan tersebut semakin membuka mata masyarakat bahwa mereka tidak bisa berharap banyak kepada anggota DPR karena sangat mungkin kepentingan rakyat tidak akan diperjuangkan oleh anggota DPR bila bertentangan dengan perintah ketua partai.
Nampaknya hal ini yang menjadi jawaban mengapa seringkali aspirasi rakyat terpental di DPR, seolah membentur tembok penghalang yang sangat tebal dan tinggi, boleh jadi ketua partai belum memberi restu agar aspirasi tersebut ditindaklanjuti dengan serius.
Sikap anggota DPR yang lebih tunduk pada ketua partai dibandingkan aspirasi masyarakat menandakan macetnya demokrasi di parlemen, demokrasi tidak akan bisa bekerja di parlemen bila pola pikir ini yang dibangun. Demokrasi di parlemen mengharuskan wakil rakyat benar-benar bertindak sebagai wakil rakyat karena mereka dipilih oleh rakyat, bukan dipilih ketua partai.
Semestinya kesadaran yang terbangun adalah kesadaran kerakyatan, sadar bahwa konsekuensi sebagai anggota DPR adalah wajib menyuarakan aspirasi rakyat. Fenomena ketidakberanian memutuskan perkara di DPR tanpa persetujuan ketua partai merupakan bukti nyata tidak terbangunnya kesadaran kerakyatan.
Ketua parpol juga harus berbenah, tidak perlu selalu ngotot memaksakan kepentingan di legislatif, terlebih bila kepentingan tersebut bertentangan dengan aspirasi masyarakat, bila para ketua parpol ramai-ramai memaksakan kepentingannya di legislatif maka sudah pasti masyarakat yang menjadi korban, kalau sudah begini, DPR sebenarnya mewakili siapa?
Pada sisi lain, tidak salah untuk mengucap terima kasih kepada Ketua Komisi III DPR RI, paling tidak yang bersangkutan sudah rela berkata jujur mengungkap intervensi ketua partai dalam pengambilan keputusan di DPR, Sekiranya tidak ada pengakuan ini, maka publik tidak akan mengetahui mengapa aspirasi masyarakat sangat susah diperjuangkan di DPR, mungkin ada orang-orang di tengah masyarakat yang sebelumnya sudah tahu hal ini sebelum diungkap Ketua Komisi III, namun mayoritas masyarakat pasti belum mengetahui. Pertanyaan selanjutnya, saat publik telah mengetahui faktanya, apakah anggota DPR masih tetap akan lebih tunduk pada pada perintah ketua partai dibandingkan aspirasi masyarakat?
Apakah ketua partai masih akan tetap ngotot memaksakan kepentingannya di DPR saat sudah tahu kepentingan mereka berlawanan dengan aspirasi rakyat? Jawabannya butuh diperlihatkan dalam tindakan.
Salah satu ukuran demokrasi berkualitas adalah hadirnya wakil rakyat yang memang berjuang untuk rakyat, peran wakil rakyat sangat vital, mereka menjadi harapan terakhir masyarakat yang ingin memperoleh hak-haknya, mereka menjadi tempat mengadu masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Memang berat menjadi wakil rakyat, bila anda tidak kuat maka jangan pernah mencoba, namun bila anda sudah duduk sebagai wakil rakyat maka kuat atau tidak kuat anda dituntut untuk tetap bekerja mewakili rakyat.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute