Catatan Akhir Tahun, Seri ke-4
Oleh: DR Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
Hari ini saya membahas tantangan ke empat Indonesia tahun depan, yakni pemberantasan korupsi. Pembahasan ini menyangkut aspek struktural maupun kultural. Struktural berhubungan dengan kekuasaan, sistem legal dan “power relation”. Sedangkan kultural berhubungan dengan moralitas, norma dan gerakan serta dinamika sosial dalam masyarakat.
Negara-negara besar selalu berhasil memperlihatkan indeks persepsi korupsi yang tinggi, pada indeks versi “Transparancy International” artinya penanganan korupsi sangat baik. Indonesia selalu berada pada indeks yang rendah, di bawah rerata dunia (44). Tahun lalu indeks Indonesia mencapai 38, jauh di bawah Singapura dan Malaysia.
Transparansy Internasional mengaitkan tingginya korupsi dengan rusaknya kebebasan sipil dan banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia di suatu negara (lihat: ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-2021-korupsi-hak-asasi-manusia-dan-demokrasi/). Musuh koruptor adalah kontrol sosial.
Tapi sebenarnya ini juga berkaitan dengan ideologi. Ketika saya menulis ”Matinya Reformasi, Budaya Korupsi dan Tamatnya Nasib KPK”, 2019, disitu diperlihatkan cerita Jung Chang, seorang novelis asal China, dalam novelnya yang sangat terkenal, “Wild Swans: Three Daugters of China”, terjadi perubahan kultur pada ayahnya yang menjadi pimpinan Komunis sebuah kota di era Mao Ze Dong. Ideologi itu mengantarkan budaya baru pada ayahnya untuk masuk pada “rule of thumb” promosi karir orang bukan berdasarkan hubungan keluarga (anak, istri, ponakan, dll), melainkan berdasarkan pemahaman nilai-nilai komunis.
Di China, keberhasilan menolong keluarga, apalagi mendorong anak dan keponakan menjadi pejabat negara, menjadi kebanggaan. Budaya kita juga begitu, masih. Jung Chang menceritakan tindakan ayahnya itu, tidak menolong keluarga, membuat mereka dikucilkan keluarga.
Sisi kultural ini adalah sisi yang menyangkut nilai yang dianut oleh masyarakat. Indonesia, sebagai masyarakat mayoritas muslim, seharusnya terikat dengan nilai-nilai anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Sebuah ilustrasi ajaran Islam misalnya diuraikan sebagai berikut:
Ibnu Zanjuwaih (wafat 247 Hijriyah) meriwayatkan dalam bukunya Al-Amwal, ia berkata, “Umar Bin Khattab memiliki seekor unta. Budaknya memerah susu unta setiap hari untuknya. Suatu ketika, budak membawa susu unta ke hadapan Umar. Umar berfirasat lain dan dia bertanya kepada budaknya, “Susu unta dari mana ini?” Budaknya menjawab, “Seekor unta miIik negara (Baitul Maal) yang telah kehilangan anaknya, maka saya perah susunya agar tidak kering, dan ini harta Allah”. Umar berkata, “Celakalah engkau! Engkau beri aku minuman dari neraka!”. (Sumber: Republika, 14/12/20, “Teladan2 Umar yang tak Aji Mumpung Gunakan Fasilitas Negara”).
Nilai yang diajarkan pada peristiwa itu adalah tidak mencampur-adukkan barang publik dengan barang pribadi. Selain itu, sebagai penguasa utama, Umar Bin Khattab, memberikan teladan bahwa membersihkan diri dari harta haram harus dimulai dari khalifah (presiden atau raja). Rasa malu atas prilaku korupsi dalam budaya, juga seharusnya dicontohkan oleh masyarakatnya.
Masyarakat yang sadar selalu menolak mengambil hak orang lain. Hal ini terlihat pada masyarakat yang tertib dalam antrian, misalnya bertransportasi atau di pusat pelayanan lainnya. Masuk perguruan tinggi negeri, melalui titipan dan sogokan, seperti yang terjadi di Unila baru-baru ini, menunjukkan kerusakan struktural dan kultural sekaligus, karena melibatkan katabelece orang yang berkuasa, dan menunjukkan calon mahasiswa yang tidak menghargai hak-hak orang lain.
Berbeda dengan masyarakat biasa, bagi seorang pemimpin, rasa malu harusnya ditebus dengan cara-cara yang luar biasa, misalnya bunuh diri, seperti yang dilakukan Roh Meehyong, eks presiden Korea Selatan, atau mengundurkan diri dari jabatan, seperti yang sering dilakukan pejabat di negara beradab.
Korupsi merupakan cerita lama. Lalu dari mana kita memulai telaahan? Kita harus fokus pada korupsi yang menyangkut kekuasaan. Sebab, kekuasaan yang dibangun oleh sistem dan orang-orang yang korup akan memastikan negara itu menjadi negara gagal (failed state). Marilah kita lihat yang terbaru dari kekuasaan rezim Jokowi. Kita dikejutkan oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Menko Maritim dan Investasi, beberapa hari lalu dalam sebuah pidatonya yang menyebar luas, bahwa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seharusnya tidak terus-menerus melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan).
Alasannya, kita hidup di dunia, bukan di surga. Menurutnya, OTT memalukan Indonesia di dunia internasional. Operasi KPK ini padahal sejak awalnya merupakan andalan KPK untuk membongkar korupsi, karena KPK sebagai institusi memang didesain untuk bekerja “extra ordinary”. Melakukan penyadapan dan tangkap tangan adalah kekuatan KPK dibanding institusi Kejasaan Agung. Kita harus mengecam pernyataan LBP ini sebagai pelemahan pemberantasan korupsi saat ini. Pemberantasan korupsi memang harus dilakukan di dunia, bukan di surga.
Pernyataan LBP yang didukung oleh Mahfud MD soal KPK terbaru ini juga adalah tanda-tanda terbukanya sikap rezim Jokowi yang tidak mendukung lagi upaya pemberantasan korupsi. Dulu, Jokowi, ketika pertama kali menyusun kabinetnya, menyingkirkan Budi Gunawan (BG) dari calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia, karena alasannya KPK memberikan rapor merah (tidak bebas korupsi) pada BG.
Saat itu Jokowi memberi pesan kepada rakyat Indonesia bahwa dia akan memulai sebuah pemerintahan yang bersih, anti korupsi. KPK sebagai institusi yang kala itu sangat dipercaya publik sebagai penyaring calon-calon pejabat negara, yang terkait bebas korupsi, menjadi partner Jokowi dalam menseleksi semua calon kabinetnya. Menyingkirkan BG kala itu tentu saja menjadi spektakuler karena BG merupakan inti dari partai pendukung utama Jokowi, yakni PDIP.
Namun, kemesraan dengan KPK berangsur sirna, bersamaan dengan hilangnya tema-tema anti korupsi. Pada tahun 2019 KPK dilemahkan dengan revisi UU KPK, yang menempatkan KPK dalam kontrol pemerintah via Dewan Pengawas. KPK tidak dilibatkan lagi dalam seleksi pejabat yang bersih, bahkan KPK disterilisasi dengan isu Taliban pada tahun 2021, dan terakhir KPK terkesan diintimidasi oleh LBP.
Pada era Jokowi jilid satu, berbagai persoalan korupsi muncul, baik dalam skala besar maupun menengah. Skala besar terkait isu “Papa Minta Saham”, dan penangkapan dua menteri Jokowi, Imam Nahrawi dan Idrus Marham. Dalam catatan Kompas 2019, malah ada lebih banyak lagi menteri/mantan menteri Jokowi yang terkait dengan masalah korupsi (nasional.kompas.com/read/2019/12/19/10474081/kaleidoskop-2019-menteri-era-jokowi-yang-berurusan-kasus-korupsi). Sedangkan skala menengah adalah penangkapan kepala-kepala daerah yang jumlahnya tetap besar.
Pada era Jokowi jilid dua, korupsi sepertinya mulai subur seperti di era orde baru. CNBC melukiskan bawa hanya di era Jokowi ini jumlah uang dikorupsi hampir sama dengan kasus BLBI Orde Baru, yakni kasus Apeng, korupsi Jiwasraya, dan Asabri. (sumber: www.cnbcindonesia.com/market/20220817183001-17-364517 ini-daftar-3-kasus-korupsi-terbesar-ri-nyaris-samai-blbi/2).
Di era Jokowi ini juga kejahatan terhadap orang miskin dilakukan, ketika bencana kematian datang, yakni dengan korupsi dana Bantuan Sosial Covid-19. Selain korupsi oleh Menteri Sosial, Menteri Jokowi lainnya juga melakukan korupsi, yakni Edhy Prabowo, Menteri KKP.
Terakhir, yang menggemparkan pada tahun 2022 ini adalah PPATK temukan transaksi keuangan misterius sebanyak Rp. 183,8 T, korupsi dalam skandal ijin ekspor minyak goreng, serta skandal korupsi dan mafia kasus dua Hakim Agung (Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh). Hakim Agung sebagai simbol “malaikat” atau perwakilan Tuhan Y.M.E di muka bumi ternyata sudah bobrok juga.
Tak kalah penting juga, jumlah harta anak-anak Jokowi, yang begitu besar menimbulkan pertanyaan, seperti yang dilaporkan Ubaidillah Badrun ke KPK, terkait dengan perolehan dana untuk pembelian saham senilai Rp. 92 Milyar (www.tribunnews.com/bisnis/2022/01/14/perihal-pembelian-saham-rp-92-miliar-yang-bikin-putra-presiden-jokowi-kaesang-dilaporkan-ke-kpk). Akhirnya, kini kita menyadari bahwa era Jokowi saat ini sebanding atau bahkan lebih buruk dari era Orde Baru dalam lilitan dan pusaran kasus korupsi.
Sebagian besar pendukung Jokowi melihat peristiwa yang ada dari kacamata sebaliknya dan sebagian lagi melihat dengan “kacamata kuda”. Kelompok pertama berargumentasi bahwa justru di era Jokowi inilah kasus korupsi besar terungkap dan ditangani. Ini adalah prestasi Jokowi, menurutnya. Argumentasi ini sangat lemah tentunya. Sebab, dalam teori kepemimpinan, jika menteri-menteri Jokowi dan mitranya, seperti petinggi parpol melakukan korupsi, maka dipastikan ada “share responsibility” yang harus ditanggung oleh Jokowi sebagai presiden.
Kelompok kedua, yang melihat dengan “kacamata kuda”, melihat bahwa yang salah pasti bukan pemerintah, melainkan keadaan. Istilah kita hidup bukan di surga, seperti yang diargumentasikan LBP, menunjukkan kondisilah yang salah. Argumen ini tentu sangat konyol. Pemerintahan SBY telah menaikkan 14 poin, dari 20 ke 34, selama 10 tahun berkuasa, index persepsi korupsi Indonesia versi Transparancy International. Sedangkan rezim Jokowi hanya menaikkan 4 poin, dari 34 ke 38, index yang sama, selama 8 tahun berkuasa.
Selanjutnya di halaman berikutnya: