Dalam pentas politik praktis, tak jarang muncul suara sumbang yang menilai politik harus dibersihkan dari anasir agama, seolah agama tidak boleh berbicara politik dan politik tidak boleh mengaitkan diri dengan agama, untuk konteks Indonesia.
Maka agama yang dimaksudkan pada bagian ini adalah Islam, sebab Islam merupakan agama mayoritas yang berpotensi menjadi kekuatan politik besar bila diorganisir dengan baik.
Namun bila mengecek realitas politik, seringkali kelompok yang menginginkan politik bebas dari anasir agama justru juga menggunakan instrumen agama untuk memenangkan kompetisi politik dari tingkat pilkada hingga pilpres.
Misalnya sowan kepada ulama untuk mendapatkan dukungan politik dan berupaya menggaet pemilih muslim untuk memilih partai atau kandidatnya dengan mencitrakan diri sebagai kelompok yang ramah terhadap pemilih muslim, sebuah sikap yang tidak selaras antara kata dan perbuatan.
Islam sebagai agama tidak mungkin dipisahkan dari politik, penyebabnya karena ajaran Islam bersifat holistik (menyeluruh). Islam tidak hanya mengatur ibadah individu tetapi menetapkan rambu bagi semua urusan hidup manusia termasuk urusan politik di dalamnya.
Hal itu dicontohkan dengan sangat apik oleh Nabi Muhammad SAW yang mana beliau tidak hanya bertindak sebagai rasul tetapi juga berfungsi sebagai pemimpin politik pada masanya.
Keterlibatan Islam dalam politik merupakan realisasi dari ajaran Islam untuk mengontrol kekuasaan agar tidak melakukan penyimpangan yang mengarah pada kezaliman, kezaliman yang lahir dari kekuasaan memiliki daya rusak yang lebih parah dibandingkan kezaliman yang dilakukan individu atau kelompok yang tidak memiliki kekuasaan.
Pada dasarnya anggapan yang menginginkan politik dibersihkan dari anasir agama disebakan oleh kegagalan dalam memahami ajaran Islam secara utuh. Untuk konteks terkini upaya pembersihan politik dari anasir agama dimunculkan dalam bentuk isu politik identitas.
Secara jujur mesti diakui isu politik identitas lebih diarahkan untuk membendung pengaruh Islam di pentas politik, ketika agama dibincang dan diekspresikan di ruang politik maka seketika tuduhan politik identitas bermunculan, padahal faktanya identitas tidak selamanya berkaitan dengan agama namun bisa juga berupa suku dan ideologi politik, sehingga pada dasarnya semua partai politik di Indonesia menggunakan politik identitas untuk meraup kemenangan dan setiap pelaku politik selalu menunjukkan identitasnya.
Pada saat yang sama, umat Islam dituntut memahami perkembangan dan situasi politik terkini, hal ini penting agar umat Islam memiliki arah yang jelas untuk memperjuangkan agenda politik kebangsaan dan keumatan yang sesuai dengan aspirasi politik umat Islam. Ketidakpahaman terhadap kondisi politik terkini rawan menyebabkan umat untuk diarahkan pada kepentingan politik tertentu yang justru bertentangan dengan aspirasi politik umat Islam, dan ini merugikan umat Islam secara luas.
Sebagai agama mayoritas di Indonesia, seharusnya umat Islam menjadi penentu dalam percaturan politik, bukan sekadar suaranya digunakan oleh partai dan politisi saat pemilu namun ditinggalkan setelah pemilu. Ibarat habis manis sepah dibuang.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute