JAKARTA – Di ruang publik terus terjadi pro dan kontra terkait sistem pemilu proporsional tertutup dan proporsional terbuka. Kali ini datang dari Direktur Pendidikan Klinis Demokrasi Suparman.
Menurut Suparman, menerapkan sistem pemilu proporsional tertutup lebih baik dari sistem pemilu proporsional terbuka. Alasannya, kondisi politik di dalam negeri makin tak terkontrol khususnya soal politik transaksional terutama serangan fajar.
“Patut didukung proporsional tertutup, karena proporsional tertutup bisa mengurangi money politic, khususnya serangan fajar,” kata Suparman pada wartawan Bela Rakyat, Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Suparman menjelaskan, banyak manfaat menerapkan sistem pemilu proporsional tertutup. Di antaranya mengurangi pemilik modal atau orang berduit ‘membajak’ partai politik (Parpol).
“Proporsional tertutup itu menguntungkan kader-kader yang berdarah-darah pada parpol dan mengurangi peranan pemodal besar dalam membajak parpol,” terangnya.
“Proporsional tertutup itu poin pentingnya itu adalah suara basis parpol. Upaya PDI Perjuangan melawan oligarki melalui proporsional tertutup yang memiliki basis di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” sambung Suparman.
Ia mencontohkan, pada pemilu 1999 dan pemilu sebelumnya di tahun 1955 dengan menerapkan proporsional tertutup membuat pola kaderisasi partai politik sangat kuat. Tak hanya itu, dengan proporsional tertutup ideologi partai sangat jelas.
“Sebagai saksi sejarah Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 sebagai bukti proporsional tertutup, yang menghadirkan parpol memiliki basis ideologi yang merupakan kesadaran kolektif,” terang Suparman.
Hal sama disampaikan dengan Mantan Sekjen DPP PBB yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Majelis Syurah DPP PBB Jurhum Lantong. Menurut Jurhum, sistem pemilu proporsional terbuka membuat proses demokratisasi di Indonesia makin kacau, tak terkendali.
“Coba kawan-kawan wartawan melihat akibat proporsional terbuka, betapa hancurnya sistem kepemiluan kita, di mana-mana ada politik transaksional. Belum lagi persaingan tak sehat di internal partai yang mengarah pada kecurangan pemilu yang dilakukan oknum penyelengenggara pemilu dan makin marak aksi sogok menyogok yang mengakibatkan banyak politisi tertangkap KPK,” jelas Jurhum pada Bela Rakyat saat dihubungi, Jakarta, Rabu (11/1/2023) kemarin.
Jurhum menyakini, dengan mengembalikan pemilu ke sistem proporsional terbuka akan mencegah sistem politik transaksional yang melibatkan masyarakat. Untuk itu, ia mengusulkan agar sistem proporsional tertutup bisa merancang kembali desain sistem pemilu untuk memperkuat Presidensialisme.
“Kita perlu punya visi besar agar kualitas demokrasi Indonesia kita makin baik tanpa adanya politik transaksional,” terang Jurhum.
Jurhum lebih tertarik pada penguatan sistem pemilu untuk meningkatkan kerja-kerja representatif anggota dewan mewakili rakyat di DPR sabagai bentuk akuntabilitas anggota DPR RI pada rakyat.
“Yang kedua, dengan proporsional tertutup kita ingin agar pemilu yang kita gelar lima tahun sekali ini bisa menghasilkan sistem kepartaian yang lebih modern sehingga politik pragmatis makin kurang dengan jumlah partai lebih sederhana. Yang ketiga, kita ingin sistem pemilu yang kita miliki ini lebih murah, tidak mahal lagi tidak seperti selama ini sehingga bisa mengurangi praktik money politics (politik transaksional),” paparnya.
Alumni HMI ini mencontohkan negara Amerika Latin seperti Brazil, Mexico dan Argentina telah berhasil menerapkan sistem presidensialisme multipartai dengan pemilu serentak. Tak hanya itu, Jurhum menambahkan, di negara tersebut mengadopsi besaran Dapil dan alokasi jumlah kursi yang mampu mengurangi jumlah partai di parlemen.
“Kemungkinan-kemungkinan bisa kita lakukan di Indonesia agar sistem kepemiluan kita makin kuat yang diikuti oleh sistem kepartaian kita makin kuat juga agar politik pragmatisme lebih dikurangi,” pungkas Jurhum.
Sebelumnya, 8 partai politik parlemen terdiri dari PKS, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, Nasdem, PAN dan PPP sepakat menolak sistem proporsional tertutup dan tetap mendukung sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini sebagai sistem yang lebih baik, lebih demokratis dan lebih representatif.
Penjelasan itu disampaikan oleh 8 parpol parlemen yang dituangkan dalam pernyataan sikap bersama dalam pertemuan hari ini di Jakarta, Ahad (8/1/2023) kemarin.