PPP melihat bahwa diskursus soal politik identitas ini perlu diproporsionalkan. Selama ini yang berkembang seolah politik identitas itu adalah sesuatu yang sama sekali harus dilarang, harus dibuang jauh-jauh, dan tidak boleh lagi dimunculkan dalam kegiatan politik maupun aktivitas kemasyarakatan apapun.
PPP merasa perlu mengajak kita semua bahwa politik identitas yang seharusnya dihilangkan, dibuang adalah politik identitas yang membuka ruang-ruang intoleransi, eksklusivitas, segregatif atau pembelahan masyarakat. Juga politik identitas yang mengajak pada anarkhisme dan pembangkangan sosial.
Namun menurut saya, jika politik identitas yang ditampilkan adalah yang menjaga toleransi dan tetap membangun inklusivitas, tidak menegasikan atau menihilkan mereka yang berindentitas tidak sama serta menerima bahwa perbedaan identitas itu adalah fitrah yang diciptakan Tuhan, maka ketika ini diekspresikan dalam ruang publik tentu perlu serta merta kemudian dianggap sebagai ancaman dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Kebhinekaan yang kita juga akui memang mau tidak mau menimbulkan artikulasi identitas di ruang publik. Namun jika artikulasi tersebut tetap tidak menempatkan keperluan bersikap inklusif dlm bermasyarakat, maka ini tidak perlu dilarang.
Contoh konkrit tentang ini adalah PPP yang tetap mempertahankan identitasnya sebagai partai Islam. Namun misinya adalah menyebarkan Islam rahmatan lilalamin, yakni Islam yang tawassuth (sikap tengah-tengah atau moderat) tawazun (seimbang), I’tidal (tegak lurus) tasamuh (toleran).
Jika politik identitas itu dilarang sama sekali maka itu kemudian bisa diartikan bahwa tidak boleh ada parpol atau ormas yang melabelkan identitas tertentu. Apapun itu, apakah agama, suku, ras dll…
Selama 5o tahun umurnya, PPP menunjukkan identitasnya sebagai partai Islam namun dengan yang dibawakannya adalah artikulasi prinsip Islam rahmatan lil alamin, Islam yang tidak marah-marah.
Oleh: H. Arsul Sani, SH., M.Si., LL.D, Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP)