Meski sama soal elektabilitas, tapi tulisan hari ini beda dengan tulisan hari Senin kemaren (19/12/22) yang judulnya “Framing Elektabilitas“.
Kalau yang kemaren itu khusus soal elektabilitas Capres kita. Tulisan yang ini soal paradoksal sekaligus ekuivalensi elektabilitas Partai terkait dengan deklarasi Capres ; yang ekuivalen elektabilitasnya naik, yang paradoks turun.
Ini bukan soal ngurus partai lain. Tapi sekedar membahasnya. Karena partai lain, terutama yang bukan koalisi untuk Pilpres, nanti akan menjadi pesaing, bahkan lawan. Jadi, membahas partai lawan, itu sama pentingnya dengan mengurus partai sendiri. Paham ?
Baiklah. Kecuali Gerindra, kepentingan utama semua partai politik dalam pemilu adalah peningkatan elektabilitasnya, yaitu peningkatan jumlah suara dan jumlah kursi di Parlemen. Koq, kecuali Gerindra ?
Ya, bagi Gerindra, peningkatan elektabilitas partai adalah efek samping dari peningkatan elektabilitas Capres yang diusung, yaitu Pak Prabowo Subianto (PS08). Itu terlihat dari dua kali Pemilu terakhir, 2014 dan 2019. Pun Pemilu 2024 kali ini.
Lihat saja perjalanan elektabilitas Gerindra. Pada Pemilu 2009, Gerindra meraih 4.646.406 suara (4,5%) dan memperoleh 26 kursi dari total 560 kursi DPR-RI (4.64%). Dalam Pemilu 2014 Gerindra menjadi partai politik ketiga terbesar di Indonesia dengan raihan 14.760.371 suara (11,81%) dan menempati 73 kursi dari total 560 kursi DPR-RI (13 %).
Di Pemilu 2019 Gerindra berhasil menjadi partai politik kedua terbesar di Indonesia dengan meraih 17.594.839 suara (12,57%) dan menempati 78 kursi dari total 575 kursi DPR-RI (13,57%).
Untuk Pemilu 2024 nanti, target Gerindra tidak muluk-muluk : 26% suara dan 21% kursi Parlemen. Ini target rasional dan realistis. Insya Allah tercapai. Amien.
Selanjutnya di halaman berikutnya: Ekuivalensi Elektabilitas : Prabowo-Gerindra