Masjid Satu Triliun dan Kualitas Keberagaman di Jawa Barat

Afganistan dan Somalia adalah negeri yang paling ketat mempraktikkan agama, sesuai dogma agama (Islam) yang mereka warisi dan yakini selama ratusan tahun – tapi juga menjadi bangsa paling miskin dan paling paria di dunia. Bangsa terbelakang. Basis para ekstrimis dan perompak klas dunia.

Sebaliknya, Jepang dan China dikenal sebagai bangsa maju, bangsa berbudaya tinggi, sangat modern, yang menunjung nilai moral dan spirit tinggi, dengan pengajaran agama yang relatif tidak kita kenal, Shinto. China Komunis (Kapitalis) tidak mencantumkan agama dan Ketuhanan sebagai dasar negara mereka.

Bacaan Lainnya

Dua kutub ekstrim itu, Afganistan dan Somalia di satu sisi – Jepang dan China di sisi lain – menjelaskan bahwa kepatuhan warga pada agama tidak paralel dan bahkan tidak relevan dengan pembangunan kualitas manusia dan penghayatan pada nilai nilainya.

Ironinya, agama diajarkan dan dipaksakan – juga dibudayakan – dalam upaya memuliakan nilai nilai dan meningkatkan kualitas manusia. Dalam Islam, agama untuk membangun akhlak mulia – akhlakul kharimah. Namun tidak demikian dalam praktiknya. Teori agama dan praktik beragama satu hal – praktik moralitas dan nilai nilai menjadi hal lain.

Rajin shalat dan haji, iya – manipulasi dan korupsi, iya. Mendirikan pesantren iya, mencabuli santri-santrinya, iya juga. Pendirian masjid dan mushala marak di mana mana – tapi persekusi dan larangan ibadah umat minoritas marak juga.

Kehebohan itu yang sekarang sedang ramai di Jawa Barat terkait dengan peresmian masjid megah “Al Jabbar” di kawasan Gedebage – Bandung oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Kemegahan masjid yang dibangun dengan APBD Rp. 1 triliun mendapat kritik keras karena tak terkait dengan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat pada umumnya.

Terlebih lagi pembangunan masjid di tengah pandemi Covid-19 itu menggunakan anggaran jamak (multiyears) dari APBD tahun 2020 dan 2021.

Di media sosial, warga dunia maya mempertanyakannya, bukan saja sumber dana melainkan juga etika pembangunannya. Pemiliki akun @outstandjing, misalnya, menekankan bahwa APBD tak seharusnya digunakan untuk membangun masjid karena berasal dari pembayar pajak yang terdiri dari berbagai kalangan. “Niat saya bayar pajak, bukan wakaf!”

Pajak artinya untuk kesejahteraan umum, seperti insfratruktur, jalan, jembatan, rumahsakit, dll. Dana pembangunan masjid seharusnya dapat digunakan untuk membangun infrastruktur yang saat ini lebih dibutuhkan Jawa Barat. Sedangkan wakaf untuk kepentingan kaum tertentu.

Sebagian juga membandingkan kemegahan Masjid Al Jabbar yang dikelilingi danau – yang jauh berbeda dibandingkan lingkungan sekitarnya.

Kritikan itu kemudian direspons langsung Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil lewat akun Instagramnya. RK mengatakan pembangunan rumah ibadah dapat menggunakan uang negara selama sudah disepakati eksekutif dan legislatif. “Kewajiban anda adalah membayar pajak, namun hukum positif mengatakan penggunaannya adalah wilayah kewenangan penyelenggara negara,” kata RK dalam akun Instagramnya, dikutip Rabu (4/1).

Laman Katadata.co.id., menyoroti kemiskinan yang masih mencapai 8,06% dari total penduduk Jawa Barat. Beberapa daerah bahkan mencatatkan tingkat kemiskinan di atas 10%, di antaranya Tasikmalaya, Indramayu, Majalengka dan Kuningan.

Sedangkan Imparsial (Indonesian Human Rights Monitor) mengungkapkan Jawa Barat merupakan provinsi yang paling banyak menjadi lokasi pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan pada 2022. Di bawah Jabar, ada Jatim, NTB, Sumut, DKI Jakarta, dan Aceh.

“Kasus-kasus ini tersebar di beberapa provinsi paling banyak di Jabar, saya kira sesuai dengan potret Komnas HAM,” kata Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto dalam diskusi ‘Catatan Akhir Tahun Toleransi dan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia’ yang digelar Imparsial secara daring, Rabu (28/12).

Menurut Ardi, ada berbagai kategori kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kategori terkait tempat ibadah menjadi kasus dengan jumlah paling banyak terjadi, sebanyak tujuh kasus. Pelarangan pelaksanaan ibadah selarangan atau pendirian tempat ibadah sebanyak polemik pelaksanaan ibadah kelompok minoritas, kasus perusakan keberagaman. “Yang terkait dengan tempat ibadah ini paling tinggi,” katanya.

Imparsial juga menemukan dugaan campur tangan pemerintah daerah dalam kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Aktornya masih sama, yaitu didominasi oleh kelompok individu di masyarakat yang menolak keadilan tempat ibadah atau menolak perayaan-perayaan agama atau ritual kepercayaan yang beda dari mereka,” ujar dia. Aksi mereka didukung oleh pejabat pemerintah, dengan menandatangani penolakan pembangunan rumah ibadah umat minoritas.

TAMPIL beragama, nampak beragama, tapi mengabaikan etika– bobrok moral dan akhlak – menjadi trend dari pemimpin politik lokal yang mengutamakan simbol simbol, tapi minus dalam praktik sosial.

Di Kota Depok, tempat saya tinggal, juga sedang heboh dan viral penggusuran sekolah di kawasan Pondok Cina demi membangun masjid di Jl. Margonda Raya.

Di Cibiru, Kota Bandung belum lama dihebohkan oleh pencabulan oleh santri pengelola pesantren, dengan korban 13 santri, melahirkan sembilan anak. Penggalangan dana triliunan mengatasnamakan agama (Aksi Cepat Tangggap) oleh pelaku yang bergelar ustdaz, yang memiliki tiga isteri dan 14 anak, juga terbongkar.

Sebelumnya heboh kasus skandal umroh First Travel yang korbannya ribuan dan menggelapkan dana umat triliunan rupiah. Investasi bodong atas nama agama syariah juga marak.

Jawa Barat sedang mengarah ke Afganistan dan Somalia, yang menonjolkan agama dengan fisik. Membangun fanatisme sempit. Sementara nilai nilai moral dan akhlak warganya justru merosot.

Ironinya hal itu dimotori dan dibackingi oleh kepala daerahnya sendiri.

Oleh Penulis : Supriyanto MartosuwitoMartosuwito, Pemerhati Sosial Keagamaan

Pos terkait