Renungan. Tesis dari keadaan. Saat negara absen, warga berlari ke tribus dan berlindung ke doa serta bermimpi ratu adil. Begitulah kini yang terjadi. Alih-alih melindungi, negara kita kini predatorik sekali.
Dalam sunyiku karena kalah berkali, engkau mewiridkan namanya seakan-akan tak ada agensi lain yang layak dilafalkan. Engkau menipu diri sendiri dan sesama manusia yang diajak bicara. Engkau menyebutnya sebagai manusia sempurna: cerdas, indah, tajir dan cerah. Maka, ada yang tak beres dalam logika kehidupan jika tak ingin dijujurkan.
Takdir yang ditolak, dukun bertindak. Kehidupan yang tak semarak, dunia retak-retak.
Di negeri yang penuh agensi tipu-tipu dan minus kejujuran, aku hanya bisa berucap, “We come to love not by finding a perfect person but by learning to see an imperfect person perfectly.”
Mental yang terbelah; kurikulum yang lacur; situasi yang tak bersahabat; tradisi saling telikung; zaman edan; warisan begundal kolonial dll adalah pembuat agensi-agensi tak mengenali dirinya. Roboh tiangnya ketika kejujuran tak menjadi ruhnya. Repotnya, kenapa itu menimpa kita semua? Aikh…tanya kenapa dan kenapa tanya.
Engkau adalah penjumlah luka. Yang luka lamanya belum sembuh karena sejumlah duka. Engkau adalah kolektor dendam. Yang dendam lamanya belum tenggelam di dasar lautan. Praksis hidupmu menghancurkan seluruh teori di lumbung-lumbung pengetahuan. Karena itu, sulit dinujum siapa korban terakhirmu.
Aku sadar. Sesadar-sadarnya. Semenjak mengenalmu, setiap hari adalah hari belajar dan setiap tempat adalah tempat bergurau. Sayangnya engkau menolak terlibat dan hadir. Malas menjawab. Maka, tak ada gincu dan tak tersedia bibir.
Sepotong hati jika hancur dan sepiring jantung jika lebur, biarlah waktu yang mengubur. Tak ada percakapan berkwalitas sebab kita tak pantas saling berdiskusi. Buku-buku jadi mubazir. Iptek terlantar dan hilang lenyap.
Dengar rintih laraku. Saat kutidurpun yang kupanggil namamu. Nama baru. Mukjizat yang azimat. Kasih. Kini hujan air mata kebahagiaan sekaligus kesedihan. Bahagia yang tak terjelaskan; sedih yang tak terbantahkan. Maka ia menjadi saat baik tahajud. Ingatkah engkau kasih. Saat para Romo berkeluh, “wahai Tuhan. Jika semua saling menipu, kami harus bagaimana? Kini, para jendral, profesor dan tetua adat berlomba jadi pelacur.
Wahai hantu. Saat semua saling mengkafirkan, apa makna tuhan? Wahai hutan. Ketika tak ada maka ada di mana? Wahai nasib. Selalu sujudku tak berujung waktu.”
Kasih. Tuhan. Hantu. Hutan. Nasib. Takdir.
Merindukan kalian kini adalah mengingat Ali bin Abi Thalib yang berkata, “jadilah seperti akar yang tak terlihat, tapi tetap menyokong kehidupan. Jadilah seperti jantung yang tak terlihat, tapi terus berdenyut setiap hari setiap saat hingga membuat kita terus hidup sampai batas waktu berhenti.”
Walau begitu. Walau engkau bukan Tuhan. Aku titip anak-anakku. Sebab umurku tak akan panjang. Titip mereka yang menyembah Tuhan dengan lapang. Maafkan aku yang kurang-kurang.
Walau begitu. Walau engkau bukam hutan. Aku tetap merindukanmu seperti rindu honda pada yamaha. Aku mencintaimu seperti cinta sepeda pada penunggangnya. Walau begitu. Walau engkau bukan hantu. Aku membencimu seperti benci KPK sama pencuri. Aku jijik padamu seperti jijiknya kebenaran pada kesalahan.
Kini, mari bekerja dan ceria, semoga Tuhan memberkati kita semua seterusnya. Amin.
Oleh: Prof DR Yudhie Haryono, Guru Besar Universitas Purwokerto dan Direktur Eksekutif Nusantara Centre