Kuasa Massa, Kuasa Uang dan Peranan Kaum Intelektual

Kuasa Massa, Kuasa Uang dan Sikap dan Peranan Kaum Intelektual

Bacaan Lainnya

Hari-hari sepulang Habib Rizieq Syihab (HRS), tampaknya akan terus berlarut dengan pergolakan, pertentangan, perdebatan, dan pergesekan. Apalagi tidak berapa lama lagi, pada tahun 2022 rencananya Pilkada DKI akan kembali digelar. Dua tahun kemudian, pada 2024, Pemilu dan Pilpres digelar. Sekarang saja, konflik antara HRS – FPI malah secara mengejutkan bergeser ke aktor baru, yaitu TNI. Padahal sebelum-sebelumnya hanya berkisar FPI versus Ormas atau FPI versus Polisi.

Baik Pilkada maupun Pilpres merupakan momen krusial bagi sirkulasi kekuasaan. Kaum kuasa uang atau oligarki, sangat berkepentingan soal siapa yang terpilih. Karena berkaitan dengan kelangsungan sirkulasi dan pertumbuhan usaha dan kapital mereka.

Dan momen semacam itu, meniscayakan pertarungan antar kuasa uang dan antar kuasa massa secara sekaligus.

Struktur kuasa uang di Indonesia dewasa ini, agaknya tidak bersifat sentralistik dan piramida seperti zaman Soeharto. Tapi yang jelas jumlah penguasa uang hanya segelintir. Mereka menyebar dan berkecenderungan untuk membangun kerajaannya masing-masing. Dan bukan hal yang mustahil bahwa antar mereka terdapat riak untuk saling menghancurkan demi kemajuan di antara mereka. Seperti halnya karakteristik imperialis, bukankah sesama imperialis dapat saling berperang demi perluasan kekuasaan dan hegemoni?

Saat ini, ciri-ciri pertentangan dan pertarungan sesama oligarki ini–istilah lain dari kuasa uang–makin terlihat dan bahkan akan memperlihatkan wujud aslinya, tanpa harus berkutat memakai metode perang proksi.

Sejak Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) diganti dengan KH. Ma’ruf Amin, tampaknya ketidakpuasan dari group JK terlihat menggeliat. Apalagi oligarki di dalam group Presiden Jokowi dapat menarik Prabowo ke dalam barisan pemerintah, dengan sendirinya group JK yang berada di luar pemerintahan tergerus dan terkucil.

Hari-hari ini, kedua group oligarki yang saling bersaing ini, yang pada periode pertama dari pemerintahan Jokowi beraliansi, sudah bagaikan pergesekan antara Amerika dan China dalam memperebutkan pengaruh di Laut Cina Selatan. Sejauh ini, group JK hanya mengandalkan keampuhan dan popularitas salah satu bagian mereka, Anies Baswedan sebagai politisi yang digambarkan The Rising Star. Tetapi Anies Baswedan yang domain kekuasaannya terbatas di DKI, memiliki ketergantungan massa dengan kehadiran dan peranan HRS dan FPI-nya. Anies Baswedan gagal menduplikasi banyak basis bagi dirinya. Anies terlalu larut berpacu dalam melodi dan sangat menggantungkan harapan dengan kemampuan pribadinya untuk meraih ketertarikan dan respect publik, dan tampak pesimis dengan apa yang disebut kerja kolektif. Dia tampak sebagai seorang yang soliter, dan kurang dapat menikmati kepemimpinan yang bersifat bersama-sama.

Karena karakternya seperti itu, maka kehadiran organisasi massa yang sudah lama jadi dan solid seperti FPI dan tokoh mencorong dan kharismatik seperti HRS, cocok dan simbiosis dengan tipe kepemimpinan soliter gaya Anies. Ibarat kata, urusan massa biar yang profesional dan mumpuni saja yang menangani. Urusan elektabilitas dan popularitas ditangani sendiri. Walhasil terjadilah saling ketergantungan di antara dua pihak.

Saya kira, lawan politik yang berada di group Jokowi menyadari kenyataan tersebut. Maka hari-hari ini, saat mana Anies dan pendukung keuangannya belum sempat menduplikasi basis massa yang solid sebagaimana kualitas FPI, sebelum terlambat, lawan politiknya membabat dan menjinakkan basis massa Anies Baswedan tersebut. Dapat dibayangkan, masa depan politik macam apa ketika basis massanya diberangus di tengah sistem pemilu yang sepenuhnya mengandalkan one man one vote. Dan waktunya sebentar lagi, 2022 dan 2024, sudah menunggu. Dalam keadaan tipikal semacam itu, kekuatan oligarki yang satu sama lain sedang bersaing ini, akan berlaga lebih keras lagi.

Peranan Kaum Intelektual

Kaum intelektual rasanya sudah lama menyadari merajalelanya kuasa uang atau oligarki dalam setiap proses politik di Indonesia, mulai dari tingkat lokal hingga nasional. Kehadiran dan peranan oligarki ini telah merusak kualitas kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat hanya isapan jempol belaka dan bertekuk lutut di hadapan kuasa uang. Pada akhirnya yang menentukan di lapangan tetaplah uang. Bukan pilihan nurani. Bahkan partai pun tak bisa berbuat apa-apa ketika pada akhirnya “mahar politik” lah yang berbicara. Tapi mahar politik itu harus dikompensasi dengan jatah proyek dan jabatan yang mengamankan kepentingan kaum oligarki.

Kaum intelektual secara menyedihkan telah merosot peranannya. Dahulu suara mereka diperhitungkan, sekarang dianggap angin lalu. Hal ini akibat pengaruh mereka terhadap massa kalah jauh dari proksi kaum oligarki.

Selagi sesama oligarki tengah bertarung, syukur-syukur mengeras dan saling memberangus, massa sedapat mungkin harus ditarik ke jalur aman oleh kaum intelektual, kendati pun memang tidak mudah. Hal yang dapat dilakukan, misalnya menggencarkan penerangan dan penjelasan situasi terhadap massa. Tetapi hal itu juga memerlukan pengorbanan kaum intelektual untuk meluruhkan ego mereka dan bersama-sama menyuluhi pikiran dan pandangan massa terhadap situasi yang mereka hadapi.

Pandangan dan sikap massa harus ditarik dari situasi fait accompli, vis a vis antar massa yang dijerumuskan secara sadar oleh kaum oligarki dengan perantaraan tindakan agen dan kaki tangan oligarki, kepada sikap dan pandangan massa yang sepenuhnya bebas, independen dan tidak mudah jatuh pada agitasi dan provokasi.

Lebih jauh action plan-nya, mari susun bersama-sama atau masing-masing.

Catatan Ringan Keenambelas

Syahrul Efendi Dasopang, Penulis

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *