HUKUM DAN ETIKA PENYELENGGARA NEGARA
Pada sektor hukum dan etika penyelenggara negara, Fraksi PKS menyoroti lahirnya kitab undang-undang hukum pidana, kualitas penegakan hukum dan kompetensi etika penyelenggara negara.
✅ Fraksi PKS sejatinya menyambut baik dan ikut mendukung lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Mengingat KUHP lama merupakan produk Belanda yang tidak dapat dipungkiri mengandung perspektif hukum kolonial yang bukan saja tidak relevan dengan perkembangan zaman, namun juga tidak sejalan dengan karakter bangsa Indonesia.
Fraksi PKS mengapresiasi lahirnya KUHP baru dengan perspektif yang sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an dalam banyak aspek, antara lain dalam pasal-pasal kesusilaan yang benar-benar ingin membentengi moral masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti perluasan delik perzinahan, kohabitasi, dan perbuatan cabul. Dalam konteks ini, Fraksi PKS tegas menolak intervensi negara lain termasuk organisasi internasional yang memprotes aturan tersebut kerena dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia. Bagi Fraksi PKS, hal ini terkait kedaulatan hukum bangsa Indonesia yang sesuai nilai, jati diri dan karakter bangsa Indonesia sehingga bukan semata soal hak asasi manusia apalagi jika hak asasi itu berlaku tanpa batas seperti HAM Barat.
Meski demikian, Fraksi PKS tetap memberikan catatan kritis bahkan penolakan atas sejumlah pasal KUHP baru yang bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi, dan sebaliknya masih bernuansa kolonial, seperti pasal penghinaan presiden, pemerintah dan lembaga-lembaga negara. Fraksi PKS melihat pasal tersebut bisa menjadi ‘pasal karet’ di tangan penguasa berwatak otoriter sehingga bisa mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat rakyat untuk menyampaikan kritik dan koreksi kepada penguasa. Oleh karena itu, Fraksi PKS meminta pasal tersebut dibatalkan pada pengesahan RUU KUHP yang lalu.
✅ Fraksi PKS menyayangkan betul sejumlah peristiwa yang mencoreng wajah penegak hukum kita selama 2022. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi penegakan hukum masih belum benar-benar berjalan dengan baik dan on-track. Fraksi PKS sangat prihatin dengan banyaknya kasus abuse of power, obstruction of justice, hingga kasus-kasus korupsi aparat penegak hukum.
(1) Fraksi PKS menyoroti kinerja KPK yang dipersepsi publik berdasarkan hasil survei integritas mengalami penurunan. Sejumlah kasus dalam sorotan publik antara lain keberadaan tersangka korupsi yang masih belum diketahui dan belum juga berhasil ditangkap hingga saat ini. Salah satu yang paling disorot publik ialah kasus Harun Masiku.
(2) Fraksi PKS juga sangat menyesalkan coreng moreng wajah kepolisian dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua oleh mantan Kadiv Propam Mabes Polri, Ferdy Sambo. Kasus ini memperlihatkan sejumlah fakta: Pertama, adanya arogansi jabatan dan abuse of power yang masih kuat di tubuh Polri. Kedua, masih hidupnya budaya kekerasan yang berujung kematian di internal Polri. Kedua, adanya upaya rekayasa, pemalsuan keterangan, dan penghilangan barang bukti dalam kasus tersebut telah menurunkan kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap kasus-kasus lain yang diproses oleh kepolisian.
(3) Kita juga masih menyaksikan sejumlah praktik buruk dari perilaku aparat, seperti penggunaan kekerasan dalam mengantisipasi demonstrasi, penggunaan gas air mata yang tidak dibenarkan seperti dalam menangani massa suporter sepak bola dalam tragedi “Kanjuruhan Berdarah.” Terdapat juga kasus-kasus serta dugaan keterlibatan sejumlah oknum perwira dalam judi online, pertambangan ilegal, dan peredaean narkotika, dll. Hal tersebut membutuhkan perhatian dan perbaikan serius dari institusi khususnya Kepolisian Republik Indonesia.
(4) Fraksi PKS sangat prihatin dan bersedih lagi-lagi wajah hukum tanah air tercoreng dalam kurun waktu singkat karena adanya 2 Hakim Agung dan 3 Hakim Yustisial di Mahkamah Agung (MA) yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi hukum di Indonesia tengah berada di titik nadir. Mafia kasus pun dinilai masih bertebaran di berbagai lembaga peradilan negeri ini. Reformasi sistemis di bidang hukum masih jauh dari harapan.
✅ Fraksi PKS mengevaluasi terjadi gejala menurunnya kualitas kompetensi etik dan standar moral para penyelenggara negara. Padahal etika dan moral penyelenggara negara menjadi basis dari kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi dan indikator utama dari reformasi penyelenggaraan negara.
(1) Kita tentu ingat badai pandemi covid 19 yang menghantam negeri ini sejak 2 tahun lalu. Sayangnya di tengah kondisi krisis kesehatan tersebut, sejumlah menteri yang berada di pusaran kekuasaan diduga mengambil keuntungan dari kebijakan wajib PCR bagi rakyat. Pegiat anti-korupsi mendorong Presiden Joko Widodo untuk bersikap atas dugaan konflik kepentingan beberapa menterinya yang memiliki atau terafiliasi dengan bisnis tes PCR. Dugaan konflik kepentingan ini tidak hanya bermasalah secara hukum, namun juga menyalahi etika kedua menteri sebagai pembuat kebijakan terkait pandemi.
Yang aktual, terkait kebijakan mobil listrik nasional. Berbagai kebijakan hingga insentif dibuat untuk mendukung agar kendaraan-kendaraan listrik segera mengaspal di Indonesia. Namun, di sisi lain, sejumlah pihak menyoroti kebijakan itu justru akan menguntungkan pejabat-pejabat yang ikut terlibat dalam industri kendaraan listrik. Dalam laporan masyarakat sipil ada potensi conflict of interest atas kebijakan mobil listrik yang menguntungkan sejumlah pejabat di lingkaran istana dan pemerintahan yang memiliki atau terafiliasi dengan bisnis kendaraan listrik tersebut.
(2) Kebijakan penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan transisi pilkada serentak semestinya diisi oleh pejabat sipil. Tapi kenyataannya, Kemendagri menunjuk Pj Kepala Daerah yang berasal dari TNI/Polri Aktif. Sebagai contoh, Mendagri menunjuk Pati TNI aktif sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat. Ada juga Pati Polri Bintang yang ditunjuk sebagai Pj Gubernur Papua Barat. Penunjukan tersebut tidak sejalan dengan semangat reformasi yang salah satunya agar TNI-Polri tidak menduduki jabatan sipil. Penunjukan tersebut juga memantik respon kritis kalangan masyarakat sipil yang ingin menjaga amanat reformasi dan UU TNI/Polri.
(3) Fraksi PKS menghormati sekaligus menyayangkan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan seorang menteri untuk tidak mundur dari jabatannya jika maju dalam kontestasi pemilihan umum. Hal ini dinilai sebagai langkah kemunduran. Dengan putusan ini, Fraksi PKS dan kalangan masyarakat sipil mengkhawatirkan bukan saja menteri tidak fokus dalam membantu presiden menyelenggarakan pelayanan publik, tapi juga kekhawatiran akan terjadinya praktek mobilisasi/politisasi ASN dan upaya memanfaatkan fasilitas negara untuk keuntungan pribadi.
Jakarta, Desember 2022
Oleh: DR H. Jazuli Juwaini, MA, Ketua Fraksi PKS DPR RI