Kecerdasan Spiritual Prasyarat Pemimpin Nasional

Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto (ist).

Oleh: Yudhie Haryono, Pengamat Sosial Kemasyarakat

Orang bertanya-tanya, “mengapa KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) makin menggila?” Bukan hanya ditandai oleh penangkapan pejabat publik tiap hari, tetapi juga diakui lembaga dan agensi KPK (komisi pemberantasan korupsi) plus terpaparnya index korupsi negara kita yang makin menurun.

Harian Kompas, per Rabu, 1 Februari 2023 melaporkan bahwa skor Indeks Persepsi Korupsi 2022 menempatkan Indonesia di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Skor Indonesia memburuk empat poin dari 38 menjadi 34 poin.

Itu artinya korupsi dibasmi bukannya mati tetapi makin menjalar ke seluruh sendi. KKN diperangi bukannya hangus tetapi makin menjadi-jadi bahkan lebih ngeri.

Bukankah KKN itu musuh bersama? Bukankah itu ikon perbuatan yang menghasilkan revolusi 98? Bukankah itu hal buruk yang dikutuk? Tetapi kok kita mengulanginya secara lebih drastis, dramatis dan sadis. Kita kini kehabisan argumen untuk tahu kenapa, mengapa dan bagaimana itu terjadi.

Sepertinya ke sini kita makin kehilangan kapasitas. Kita kekurangan modalitas. Kita kelupaan titik fokus. Modal, model dan modul (3M) dalam aspek-aspek moral kita habis terterjang banjir bandang kebejatan.

Dan, tiga hal tersebut tidak hadir dalam kehidupan kita karena satu hal saja: yaitu absennya kecerdasan spiritual dalam keseharian bernegara Indonesia.

Apa itu kecerdasan spiritual dan bagaimana hubungannya dengan kepemimpinan nasional? Coba kita urai pelan-pelan agar bisa ketemu solusinya.

Kecerdassn spiritual adalah kemampuan kita untuk memberi makna ibadah terhadap setiap kenalaran, pengucapan, kepenulisan, perbuatan dan kegiatan, melalui langkah-langkah holistik yang bersifat fitrah dan transenden menuju manusia sempurna. Padanya melekat rasa, citra, karya dan karsa bahwa kita terhubung dengan yang maha agung.

Keterhubungan itu adalah pola purba sekaligus modern sehingga kecerdasannya membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan guna menerapkan nilai-nilai positif: anti KKN, anti feodalisme, anti fasisme, anti neoliberalisme dan anti destruktif.

Kecerdasan spiritual merupakan fasilitas yang membantu kita untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan persoalannya. Dengan begitu, kita dapat mengubah hidup menjadi lebih bermakna, lebih baik, lebih positif. Dus, kecerdasan spiritual ini menyinari dirinya dan menerangi sekitarnya plus memberi teladan pada sesama dan bangsanya.

Singkatnya, kecerdasan spiritual (SQ) ini diperoleh melalui kreativitas rohani yang mengambil lokasi di sekitar wilayah keilahiyahan (transendensi), yang melengkapi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) kita semua selama hidup di dunia.

Dengan mengetahui makna yang luas tersebut maka mensyaratkan agar pemimpin nasoonal memiliki dan mempraktekkan kecerdasan spiritual adalah agar ia mengarahkan kehidupan ipoleksosbudhankam Indonesia menjadi lebih martabatif, baik bersama seluruh warganegara di dalam negeri maupun bersama negara-negara lainnya.

Selanjutnya, praktik dan kurikulum kecerdasan spiritual tentu saja harus dihadirkan dalam rangka membangun institusi-institusi kenegaraan yang merdeka, adil, modern, mandiri dan martabatif. Dengan begitu, kecerdasan spiritual pemimpin nasional akan selalu membantu untuk menganalisa dan memecahkan problema korelasi resiprokal antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur kenegeraan yang ada demi kebahagiaan bersama; sejahtera bersama, adil bersama dan sentosa semuanya.

Penekanan adanya korelasi resiprokal ini menghindarkan pemahaman kecerdasan spiritual yang sering diredusir menjadi hanya sekadar hasrat, perilaku dan motif individu dalam bernegara seperti 10 tahun terakhir sehingga melahirkan warga (semuanya) koruptif, ilusif dan amoral.

Kecerdasan spiritual pemimpin nasionalah yang akan “mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut mendamaikan dunia secara progresif.” Dengan tindakan itu cita-cita kita untuk bermartabat di dunia akan terlaksana. Dengan itu pula, tanggung jawab (yang luas), kerendahan hati, bahagia dan bijak bestari akan menjadi kulminasi pemimpin nasional kita yang resiprokal terhadap seluruh warganegara sekaligus penghuni bumi.

Pos terkait