Oleh: Muhammad Andi Anugrah | Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram
Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan instrumen finansial krusial yang dialirkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota guna memperkuat otonomi dan akselerasi pembangunan di tingkat desa. Dana ini menjadi urat nadi bagi program pemberdayaan masyarakat, pembangunan infrastruktur, dan penyelenggaraan pemerintahan desa secara umum. Karena itu, pengelolaan dan pertanggungjawabannya harus berada di bawah sorotan ketat. Integritas dalam setiap tahapan penggunaan ADD menjadi tolok ukur utama keberhasilan tata kelola desa, dan kegagalan dalam menjaga akuntabilitasnya bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengkhianati kepercayaan dan harapan warga desa.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebutuhan akan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa se-Kabupaten Bima kini telah mencapai titik kritis. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, total dana desa yang dialokasikan untuk 191 desa di Kabupaten Bima pada tahun 2025 mencapai lebih dari Rp. 180 miliar, kemudian di tahun 2024 Lebih kurang 182,4 Miliar, dan mengalami pengurangan di bandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 2,2 Miliar, yang pengurangannya dilakukan langsung oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan. Hal demikian belum termasuk Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari APBD Kabupaten Bima. Jika dihitung dalam rentang waktu lima tahun terakhir (2020–2025), maka total dana yang mengalir ke desa-desa di Kabupaten Bima diperkirakan melampaui Rp1 triliun angka yang luar biasa besar bagi pembangunan pedesaan.
Dengan besarnya dana tersebut, sudah saatnya Inspektorat Kabupaten Bima segera mengagendakan audit investigatif menyeluruh terhadap seluruh Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) di 191 desa untuk periode 2020 hingga 2025. Rentang waktu ini mencakup masa krisis pandemi dan program pembangunan multi tahun yang berpotensi menghadirkan kerentanan tinggi terhadap penyimpangan anggaran. Penundaan dalam mengambil langkah hanya akan memperpanjang keraguan publik dan membiarkan potensi kerugian negara tetap tersembunyi.
Secara normatif, kewajiban audit dan pengawasan ini memiliki dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 72 ayat (1) huruf d, menegaskan bahwa ADD merupakan bagian dari dana perimbangan yang dialokasikan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara ditegaskan kembali dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Lebih jauh, Pasal 11 ayat (2) PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) mengamanatkan bahwa Inspektorat sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) berkewajiban memastikan seluruh proses pengelolaan keuangan publik berjalan efektif, efisien, dan sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, kelambanan atau ketidakseriusan Inspektorat Bima dalam melakukan audit mendalam dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kewajiban hukum dan prinsip good governance.
Audit rutin yang selama ini dilakukan cenderung berhenti pada aspek administratif memeriksa kelengkapan dokumen tanpa menguji kesesuaian fisik dan manfaat nyata dari program yang dilaksanakan. Padahal, Pasal 49 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa apabila ditemukan indikasi penyimpangan yang menimbulkan kerugian negara, maka instansi pemeriksa wajib melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Oleh karena itu, audit investigatif yang menyentuh substansi mulai dari verifikasi fisik proyek, validasi data penerima BLT-ADD, hingga penelusuran distribusi dana desa merupakan keharusan, bukan pilihan.
Landasan hukum untuk audit semacam itu juga terdapat dalam Permendagri No. 73 Tahun 2020 tentang Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa, yang memberikan kewenangan kepada Inspektorat untuk melakukan audit investigatif, audit kinerja, dan audit tujuan tertentu terhadap keuangan desa. Artinya, tuntutan masyarakat agar dilakukan audit total terhadap seluruh Dana Desa dan ADD se-Kabupaten Bima periode 2020–2025 bukanlah desakan politis, melainkan tuntutan legal dan moral yang berakar pada kewajiban institusional Inspektorat.
Inspektorat Kabupaten Bima memikul tanggung jawab moral dan yuridis untuk menegakkan integritas tata kelola publik. Pasal 3 huruf a–c PP No. 60 Tahun 2008 menegaskan bahwa sistem pengendalian intern harus menjamin efektivitas, efisiensi, keandalan pelaporan keuangan, dan kepatuhan hukum.
Lebih lanjut, Pasal 34 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menegaskan bahwa setiap penyelenggara negara yang mengetahui adanya pelanggaran wajib melaporkannya. Pembiaran terhadap dugaan penyimpangan dapat dimaknai sebagai bentuk kelalaian administratif dan pelanggaran terhadap asas akuntabilitas publik.
Audit total Dana Desa dan ADD se-Kabupaten Bima mulai dari periode 2020–2025 bukan sekadar langkah administratif, melainkan agenda moral dan hukum untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan daerah. Jika audit menemukan adanya pelanggaran, maka penegakan hukum harus dilakukan secara berlapis:
1. Sanksi administratif sesuai Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa,
2. Sanksi pidana berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika terbukti terjadi penyalahgunaan wewenang atau penggelapan dana publik, serta unsur mens rea dan actus reus-nya terpenuhi.
Dengan langkah ini, Inspektorat tidak hanya memenuhi kewajiban formalnya, tetapi juga mengembalikan marwah pengawasan publik sebagai pilar utama good governance. Audit total Dana Desa dan ADD se-Kabupaten Bima periode 2020–2025 adalah utang integritas yang harus segera dibayar oleh Inspektorat kepada masyarakat. Hanya dengan transparansi, penegakan hukum, dan keberanian moral, akuntabilitas anggaran desa dapat dipulihkan. Inilah satu-satunya jalan untuk memastikan bahwa dana desa benar-benar menjadi modal pembangunan yang menyejahterakan, bukan sumber korupsi dan krisis kepercayaan di tingkat lokal.
