Pengorbanan mana yang lebih bisa diterima, pengorbanan Qabil bin Adam atau Habil bin Adam? (Dialog klasik pengorbanan anak Nabi Adam kepada Tuhan pada kisah keluarga Nabi Adam oleh Ibnu Katsir dalam detikSulsel-detik.com, Feb. 2023)
Dialog di atas tentang mana pengorbanan yang lebih bisa diterima Tuhan, kurban Qabil atau Habil. Ketidaksanggupan menerima kenyataan/ kebenaran dari Tuhan tentang mana yang baik dan benar, mana yang dapat diterima sebagai kebenaran yang nyata, berakibat pada rasa ketidakadilan yang mendalam yang berujung pada pembunuhan Habil oleh Qabil. Qabil iri hati melihat kenyataan (kebenaran) bahwa kurban Habil yang bisa diterima di sisi Tuhan.
Cerita klasik di atas merupakan kisah yang amat purba terkait upaya panjang manusia melakukan pencarian kebenaran. Pencarian kebenaran manusia sudah berlangsung amat lama dan amat panjang, nyaris sepanjang umur keberadaan manusia itu sendiri.
Upaya mengungkap kebenaran ini dapat dilakukan sebagai respon terkait apa yang diuraikan oleh Pak Dahlan Iskan (pemilik Jawa Pos dan mantan Menteri BUMN). Beliau dalam videonya yang viral mengungkap tentang adanya ‘Kebenaran Baru’. Kebenaran Baru yang dimaksudkan Pak Dahlan adalah kebenaran yang tidak lagi berdasarkan kenyataan, melainkan berdasarkan persepsi seseorang atau sekelompok orang yang dipublikasikan secara tubian (bertubi-tubi) sehingga membentuk persepsi kolektif yang kemudian dianggap benar, walau tidak sesuai dengan kenyataan.
Persepsi tersebut menurut Dahlan diframing oleh para buzzer. Hal tersebut bahkan tragisnya dapat mengalahkan kebenaran Tuhan yang di dakwahkan oleh para pendakwah. Dengan berseloroh bahkan Dahlan meminta fakultas dakwah di perguruan tinggi Islam lebih baik diganti dengan Fakultas Ilmu Buzzer. (Orasi Ilmiah di IAI Azzaytun Indonesia, 2023)
Kebenaran memang bisa diuji dengan kenyataan atau empiris (dapat diindera oleh pancaindera). Kebenaran juga dapat diketahui oleh logika manusia atau dapat dijelaskan oleh akal manusia. Walau bagaimanapun, kebenaran yang berasal dari persepsi manusia, baik yang diperoleh melalui penginderaan/ empiris maupun yang ditangkap dengan logika/ akal, kebenarannya bersifat nisbi yang dikenal sebagai kebenaran tentatif. Kebenaran tentatif maksudnya adalah suatu kebenaran dianggap benar, selagi tidak ada ‘kebenaran baru’ yang dianggap lebih benar, yang mampu mematahkan argumen kebenaran dari ‘kebenaran lama’. Boleh jadi jenis kebenaran nisbi yang bersifat tentatif inilah yang dimaksudkan oleh Dahlan Iskan. ‘Kebenaran baru’ yang dibangun oleh persepsi tubian yang dilakukan oleh para buzzer melalui berbagai medsos.
Selain ‘Kebenaran baru’ yang disampaikan oleh Dahlan Iskan, ada juga kebenaran yang diketahui berdasarkan wahyu Ilahi dari Kitab Suci atau kebenaran agama. Kebenaran Ilahi ini bersifat mutlak atau disebut kebenaran abadi. Kebenaran Ilahi akan tetap benar walau mayoritas kelompok masyarakat atau kelompok manusia tertentu menganggapnya salah. Misalnya mencuri atau korupsi itu salah dan tidak benar di sisi Tuhan, akan tetap salah dan tidak benar walau mayoritas kelompok masyarakat tertentu menyatakannya benar.
Dari segi logika berbahasa, kebenaran selalu disandingkan dengan kebaikan. Sudah lazim kita dengar pernyataan, ‘gunakanlah bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Jadi, dalam berbahasa, tidak cukup kita hanya menegakkan ‘kebenaran berbahasa’ tampa memperhatikan konteksnya. Konteksnya itulah terkait dengan ‘kebaikan’. Kata ‘kebaikan’ amat sarat dengan muatan etika, norma, dan adat istiadat setempat. Di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung, penegakan kebenaran yang sifatnya global/ universal, haruslah disesuaikan dengan muatan lokal atau kearifan lokal yang menjadi konteks ditegakkannya kebenaran itu. Semoga penegakan kebenaran di Indonesia selalu seiring sejalan dengan penegakan ‘kebaikan’ (yang sarat etika, moral, dan kesantunan) yang bersifat lokal, sehingga dapat munculkan rasa keadilan bagi semua pihak. Termasuk memperhatikan kebaikan lokal Nusantara yang berbineka tunggal ika. Dengan begitu diharapkan terbentuklah penegakan literasi kebenaran dalam bingkai kebinekaan. Semoga pencarian kebenaran yang dilakukan dapat menemukan kebenaran hakiki, bukan kebenaran yang kebetulan.
Jakarta, 08 November 2023,
Oleh: Erfi Firmansyah, Pengamat Bahasa dan Budaya UNJ