Hanya panggilan Tuhan yang harus menjadi acuan para penegak keadilan, bukan karena persaudaraan, bukan juga karena kepentingan politik kekuasaan keadilan dikorbankan, demikian yang bisa ditangkap dari isi kandungan al-Qur’an surah al-Maidah ayat ke-8.
Jagat pemberantasan korupsi kembali heboh, kali ini bukan karena Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil menangkap koruptor kelas kakap, tetapi karena langkah Ketua KPK Firli Bahuri yang bertemu langsung dengan tersangka kasus korupsi Lukas Enembe.
Banyak pihak melayangkan kritik terhadap peristiwa tersebut, pasalnya sebagai Ketua KPK Firli Bahuri dinilai melakukan tindakan yang keliru dengan menemui orang yang sedang menjadi tersangka KPK. Saat bertemu Lukas Enembe, gestur tubuh Firli Bahuri nampak tidak mencerminkan sebagai Ketua KPK, tetapi lebih sebagai seorang teman yang akrab bersalaman dan terlibat dalam obrolan ringan, situasi ini semakin memicu munculnya kecurigaan masyarakat terhadap independensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.
Dari sisi dasar hukum, keputusan Firli Bahuri menemui langsung tersangka Lukas Enembe sama sekali tidak punya dasar hukum, hal itu bila mengacu pada Undang-Undang KPK baru sebagaimana tertuang dalam pasal 21 ayat 1, pasal ini telah menganulir Undang-Undang KPK lama yang memberi status penyidik kepada pimpinan KPK, sedangkan dalam Undang-Undang KPK baru pimpinan KPK tidak lagi memiliki status sebagai penyidik.
Oleh sebab itu kehadiran Firli Bahuri menemui Lukas Enembe selain tidak berdasar juga nampak sebagai sebuah tindakan yang konyol. Semestinya pemeriksaan terhadap Lukas Enembe sebagai tersangka cukup dilakukan oleh tim penyidik dan tim dokter, ini yang sesuai dengan standar kerja di KPK.
Sebelumnya KPK melalui juru bicaranya menyatakan keputusan Firli Bahuri bertemu langsung dengan Lukas Enembe sama sekali tidak melanggar aturan. Pernyataan ini nampak mengabaikan standar etik yang mestinya dimiliki oleh pimpinan KPK.
Secara etika sangat tidak pantas bila pimpinan KPK terlebih Ketua KPK menemui langsung orang yang sudah ditetapkan tersangka oleh KPK, hal ini untuk memastikan bahwa pemeriksaan terhadap tersangka berlangsung secara profesional, tidak ada intervensi, dan sama sekali tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Lazimnya pimpinan KPK hanya memantau pemeriksaan terhadap tersangka melalui kamera, ini standar yang berlaku.
Tindakan yang dilakukan Ketua KPK semestinya tidak boleh dibiarkan begitu saja, mesti ada tindakan yang diambil, Dewan Pengawas KPK seharusnya bereaksi dengan menindak Firli Bahuri atas tindakannya yang telah menciderai independensi pimpinan KPK dalam hal proses pemeriksaan tersangka. Jika tindakan tersebut dibiarkan.
Maka pasti ini akan menjadi percontohan buruk bagi pimpinan KPK yang lain atau Ketua KPK di periode selanjutnya, tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang tindakan pimpinan KPK bertemu tersangka akan dianggap sebagai hal biasa saja, bahkan bila perlu makan bersama sambil ngobrol asyik dengan tersangka juga akan dianggap biasa saja.
Bila hal ini terjadi maka akan semakin menjatuhkan kredibilitas KPK sebagai lembaga anti rasuah, kepercayaan publik terhadap KPK juga akan semakin jatuh. Untuk sementara yang bisa dilihat saat ini, kasus Lukas Enembe bukan lagi pada persoalan penegakan hukum tapi lebih kepada lemahnya posisi pemerintah pusat terhadap isu politik Papua.
Penulis: DR H Baeti Rohman, MA, Ketua Umum DPN ISQI (Ikatan Sarjana Al-Qur’an Indonesia)