Hari Anti Korupsi Sedunia, Hari Mundurnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Hari anti korupsi sedunia baru saja diperingati, tepatnya 9 Desember kemarin, momen ini penting menjadi refleksi bersama dinamika pemberantasan korupsi agar momen akbar ini tidak sekadar menjadi seremonial yang jauh dari substansi.

Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia, tidak ada kemajuan besar yang patut membuat kita berbangga bahwa masa depan pemberantasan korupsi semakin menjanjikan, sebaliknya kondisinya nampak suram, kondisi itu terjadi pada aspek regulasi dan lembaga yang diberi kewenangan utama melakukan pemberantasan korupsi.

Bacaan Lainnya

Revisi UU KPK yang justru mempreteli kewenangan KPK merupakan bukti nyata bahwa regulasi tidak berpihak pada pemberantasan korupsi, di sisi lain mulai rapuhnya integritas personel KPK dari tingkat pegawai hingga pimpinan adalah kabar buruk bagi pemberantasan korupsi.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oknum pegawai KPK inisial IGAS yang mencuri barang bukti perkara korupsi berupa emas dan kasus pimpinan KPK Lili Pintauli yang melakukan pelanggaran kode etik berat yang memaksa dirinya mundur dari pimpinan KPK. Semua kejadian ini merupakan peringatan serius bagi dunia pemberantasan korupsi.

Carut marut regulasi yang tidak pro pada pemberantasan korupsi dan dan mulai rapuhnya integritas personel KPK berimplikasi pada tergerusnya citra positif KPK di mata publik.

hal itu terpotret dalam riset yang dilakukan Litbang Kompas yang menemukan bahwa citra KPK di mata masyarakat semakin merosot, citra KPK hanya berada di angka 57 persen berdasarkan survei yang digelar pada Juni 2022, ini merupakan angka paling rendah dalam lima tahun terakhir.

Senada dengan itu, temuan dari Indikator Politik mengonfirmasi bahwa KPK tidak lagi menjadi lembaga penegakan hukum yang paling dipercaya dalam hal pemberantasan korupsi, masyarakat lebih percaya pada Kejaksaan Agung dibandingkan KPK dalam hal pemberantasan korupsi.

Survei yang digelar pada September 2022 tersebut menunjukkan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung berada di angka 75 persen sementara KPK hanya 73 persen. Semua temuan ini penting menjadi evaluasi serius bagi KPK agar berbenah secara total.

Kasus besar tertentu yang diduga melibatkan kekuasaan semakin menambah miris nasib pemberantasan korupsi, salah satunya kasus Harun Masiku, Hinga kini kasusnya tidak menemui titik terang, Harun Masiku sendiri masih bebas menghirup udara segar walaupun sudah ditetapkan sebagai tersangka.

KPK seolah tidak berdaya menangkap seorang Harun Masiku. Kepemimpinan Firli Bahuri di KPK sejak awal sudah mengundang keraguan, penyebabnya sederhana, secara integritas Firli pada dasarnya tidak memenuhi kepantasan menjadi pimpinan KPK terlebih menduduki posisi ketua.

Sebelumnya Firli telah melakukan pelanggaran kode etik saat masih berstatus sebagai penyidik KPK karena melakukan pertemuan dengan orang yang terseret perkara korupsi, sehingga dugaan bahwa upaya meloloskan Firli sebagai Ketua KPK merupakan upaya secara tidak langsung untuk mengontrol KPK menjadi susah dihilangkan.

Dinamika pemberantasan korupsi yang jauh dari harapan tidak lantas membuat kita pesimis, optimisme perlu tetap dibangun, pengawasan publik terhadap KPK harus terus dikuatkan, hal ini penting agar lembaga anti rasuah tidak semakin mengalami kemunduran, juga untuk memastikan bahwa personel KPK merasa diawasi sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak.

Komitmen Jokowi sebagai Presiden yang dulu berjanji akan menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas dalam pemerintahannya sejauh ini tidak terbukti, nampaknya Jokowi lebih tertarik mengurus pembangunan infrastruktur.

Penulis: Zaenal Abidin Riam, 
Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *