Di Bawah Ketiadaan Utusan Golongan

Hari Minggu ini, 15/01/2023 kami dari YMNK (Yayasan Membangun Nusantara Kita) bekerjasama dengan DPDRI di Balai Kirti Istana Bogor akan melakukan FGD (Fokus Group Discussion) bertema Urgensi Utusan Golongan di MPRRI.

Kami bersama 10 cendekiawan dan 9 budayawan serta 6 tokoh adat akan membuat kesimpulan akademik bagi pentingnya utusan golongan dan hasil itu akan disampaikan ke semua pihak yang terkait.

Bacaan Lainnya

Tentu ini tema yang sangat penting karena dalam politik Pancasila harus diatur tentang kewajiban dan hak individu (liberal) yang diselaraskan dengan kewajiban dan hak komunal (utusan golongan) plus kewajiban dan hak teritorial (utusan daerah).

Jika hari ini cuma dua (liberal dan komunal rasa liberal–DPR RI dan DPD RI) maka politik kita sesungguhnya rabun konstitusi dan khianat cita-cita proklamasi. Betapa tidak senangnya para pendiri republik ini di alam sana melihat warisan pemikirannya yang jenius diwafatkan tanpa pikiran panjang.

Kami paham bahwa seluruh problem ini karena invasi konstitusi, bukan hanya intervensi eksternal. Karena invasi maka desain negara berubah drastis menjadi negara kepartaian, ujungnya menjadi negara swasta yang tidak bertanggung jawab terhadap publik. UUD 2002 menjadi bukti dan artefak invasi yang memastikan kekalahan kita sebagai negara pancasila.

Dengan UUD 2002 itu hilanglah negara pancasila, demokrasi pancasila dan ekopol pancasila, dan hilirnya akan lahir UU yang membela kepentingan swasta dan mempredatori publik.

Singkatnya, kini produk UU kita banyak yang berbasis kepentingan swasta. Pada negara swasta, badan publik bernama pasar lebih kuat daripada civil society, lebih sadis dari negara republik dan lebih kejam dari agama. Inilah neolib. Kredonya: pasar adalah segalanya.

Akan tetapi, pilihan menjadi negara neolib tidak menjadi masalah, jika kemiskinan hilang dan kepentingan oligarki serta ketimpangan wafat. Sebab jika itu terjadi, tidak akan ada ketidakpuasan dan kritik pada konstitusi.

Kita merasakan saat ini pemerintahan mengkriminalisasi, memenjarakan, dan membunuh rakyatnya sendiri. Kasus kanjuruhan sebagai contoh adalah pembunuhan sistematik, karena sistematik maka tidak ada terpidananya yang riil. Penegak hukum lumpuh. Hukumnya tumpul.

Nah, karena negara neolib tidak perform, maka refleksinya adalah kembali ke UUD 1945, baik via dekrit presiden yang terkordinasi maupun lewat sidang istimewa MPR RI.

Di luar itu, menghadirkan trikameralisme agar ada “kaki utusan golongan dan utusan daerah” adalah suatu refleksi dari kumpulan bangsa-bangsa, yang menjadi bangsa baru bangsa Indonesia. Ini ontologinya karena para founding fathers sangat sadar bahwa akan ada dominasi satu kelompok atas kelompok lain dalam perjalanan sejarahnya.

Dus, jika nanti pasar yang didominasi oleh parpol menjadi begitu dominan maka akan dapat dihadang oleh utusan golongan dan daerah. Pada tingkat tekhnis, keduanya juga tidak menglami redundan keterpilihan sebab sudah terpilih di komunitasnya.

Sesungguhnya ide utusan daerah merupakan mereka yang memiliki wilayah territorial (raja, ratu, kepala suku dll) yang dirumuskan oleh BPUPK dan PPK.

Sedangkan utusan golongan, terdiri dari golongan ras/agama, ilmuwan, militer, dan fungsional. Tugas ketiganya, pasar, utusan daerah dan utusan golongan melakukan politiknya sebagai politik kenegaraan. Perpanjangan tangan masyarakat yang dipimpinnya, untuk menghentikan kuasa presiden yang mendukung suatu golongan dan dikte pasar/neokapital/neoliberal.

Kini pasca amandemen, memang MPR RI bukan lagi lembaga tertinggi negara. Tetapi, masih banyak yang tidak tahu. Dus, jika imaji rakyat tersebut masih menempatkannya sebagai lembaga tertinggi maka dapat diwujudkan dengan SI MPR RI (sidang istimewa) yang solid, cermat dan jenius dan demi Indonesia Raya.

Oleh: Prof DR Yudhie Haryono, dkk (Guru Besar Universitas Universitas Purwokerto)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *