Darimana Mau Kemana Indonesia (2)

 

Sebagaimana yang ditulis sebelumnya, bahwa ada tiga arus utama pendorong lahirnya Indonesia modern, baik dari segi kenegaraan, kemasyarakatan, maupun kebangsaan dan pembentukan kebudayaan baru pasca Hindia Belanda. Tiga arus utama itu adalah reformis Islam, nasionalis, dan marxis atau sosialis. Ketiga-tiganya ini sebenarnya anak turunan dari modernisme yang menjadi gejala umum dunia. Itulah sebabnya, reformis Islam kadangkala disebut juga sebagai modernis Islam.

Masing masing memiliki imagine state-nya sendiri. Imagine society-nya sendiri. Imagine hubungan agama dengan negara. Imagine sifat negara pasca Hindia Belanda: apakah Islam, komunis atau nasionalis sekular. Ketiganya juga mempunyai imagine-nya sendiri-sendiri: hubungan masyarakat dengan negara. Apakah negara totaliter, atau masyarakat demokratis yang berjarak dari negara. Sampai dimana batas-batasnya hubungan negara dengan agama, hubungan negara dengan masyarakat, masing masing arus ini, memiliki prinsip, sikap dan pandangannya sendiri. Sampai saat ini, tampaknya isu ini tidak pernah selesai dan tamat.

Itulah sebabnya, yang paling cekatan, pionir dan keras mempedebatkan hubungan agama dengan negara, hubungan masyarakat dengan negara, dan tatanan negara, sejak awal ialah ketiga arus ini. Ingatlah perdebatan Natsir dengan Soekarno baik pada sebelum kemerdekaan, yaitu negara sekular atau negara Islam. Sampai pada persidangan BPUPKI, topik ini masih terus diperdebatkan dengan sengit. Dicapai kesepakatan yang kompromis, yaitu Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Waktu itu sebenarnya, sudah reda dan saling menerima kompromis.

Jeda sebentar. Tanggal 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta itu direvisi, dengan membuang 7 kata yang mengakomodasi aspirasi arus reformis Islam. Bersamaan dengan dicoret pula pada Pasal 6 UUD 1945, bahwa Presiden harus orang Indonesia asli beragama Islam. Beragama Islamnya dicoret. Tinggal orang Indonesia asli. Belakangan pasca zaman reformasi, nomenklatur orang Indonesia asli pun hilang.

Setelah melalui dinamika kenegaraan yang hebat, dari RIS 1949 yang bersifat federal hingga NKRI 1950 dengan konstitusi sementara UUD 1950, 1955 Pemilu berhasil dilaksanakan. Terpilih anggota konstituante yang bertugas untuk membuat UUD yang diharapkan tuntas dan sempurna. Perdebatan dasar negara pun kembali muncul. Dasar negara diperdebatkan lagi antar berbagai fraksi di konstituante. Apakah Islam, Pancasila, dan socio – ekonomi. Hingga terjadi voting yang tidak signifikan, karena tidak mencapai 2/3 suara secara keseluruhan. Rasio komposisinya sebagai berikut: Blok Pancasila (274 kursi/53,3%), Blok Islam (230 kursi/44,8%), dan Blok Sosio-Ekonomi (10 kursi/2%)

Dinamika di konstituante tidak memuaskan bagi Bung Karno sebagai kepala negara. Maka akhirnya, Badan Konstituante itu pun dibubarkan dan sembari mendeklarasikan berlakunya UUD 1945, dengan suatu kompensasi naratif, berupa Piagam Jakarta yang diakui menjiwai UUD 1945 yang kembali diberlakukan sebagai konstitusi resmi yang baru.

Walaupun begitu sengitnya pertarungan ketiga arus utama pembentuk Indonesia modern tersebut, bukan berarti satu sama lain tidak saling menyerap aspek ide yang mendukung eksistensi penyempurnaan masing-masing. Nasionalis seperti Soekarno, mengambil aspek rasional dari cara pandang reformis terhadap Islam, saat mana dia juga mengambil metode marxisme dalam melihat dan mengubah masyarakat. Demikian juga yang lainnya dengan kadar, gaya dan intensitas yang berbeda.

Misalnya saja, jika kita simak uraian Natsir, tentang strategi Masyumi dengan judul “Pangkal Kemakmuran Indonesia adalah Pertanian Kita”, jelas sekali, terbaca dalam metode berpikirnya dalam melihat pertanian sebagai alat kemakmuran dalam konteks ekonomi politik, sesuai dengan cara pandang yang lazim dalam metode berpikir marxisme. Hanya saja, Natsir sebagai pemikir dan artikulator terkemuka dalam arus reformis Islam, harus menyingkirkan aspek anti religius pada cara berpikir marxisme yang dia terapkan dalam menganalisa dan menilai tema pertanian sebagai wilayah ekonomi politik. Dia secara jelas mengadopsi metode berpikir dan idiom-idiom marxisme, seperti proletar dan buruh tani dalam proses produksi.

~ Syahrul Efendi Dasopang, Mantan Ketua Umum PB HMI

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *