Oleh: Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI/Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka
Kita patut bermawas diri, bahwa di tengah maraknya upaya berbagai entitas global dalam mewujudkan perdamaian dunia, kita justru dihadapkan pada fakta statistik, bahwa indeks perdamaian global terus menerus memburuk dan mengalami penurunan hingga 3,2 persen selama kurun waktu 14 tahun terakhir, sebagaimana terungkap dari rilis Institut Ekonomi dan Perdamaian (Institute for Economics and Peace).
Kita pun harus merenungkan kembali, apakah komunitas internasional sudah melangkah di jalan yang tepat dalam memperjuangkan keadilan global, ketika World Justice Project pada bulan Oktober 2022 mengungkapkan bahwa 61 persen dari 140 negara yang disurvei, tingkat kepatuhan terhadap supremasi hukum justru mengalami penurunan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia kian melemah. Di sisi lain, keadilan global juga akan sulit diwujudkan, manakala kepatuhan terhadap norma dan hukum internasional masih menjadi isu yang diperdebatkan, dan dalam penerapan sanksinya pun masih menyisakan persepsi adanya perbedaaan standar.
Demikian pula halnya dengan upaya dunia dalam mewujudkan kesejahteraan bagi penduduk dunia. Di tengah modernitas zaman yang terus melaju, yang ditopang oleh lompatan kemajuan teknologi, kita juga dihadapkan pada kenyataan bahwa menurut catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Juli 2022, sekitar 345 juta orang penduduk dunia saat ini dalam kondisi sangat kelaparan.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa selama lebih dari 2 tahun pandemi Covid-19 telah menghantam perekonomian dunia, yang juga berdampak pada melemahnya tingkat kesejahteraan masyarakat global. Resesi ekonomi dan peningkatan angka pengangguran menjadi isu yang mengemuka di berbagai negara. Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization)
memproyeksikan bahwa tingkat pengangguran global dapat mencapai 207 juta orang pada tahun 2022, di mana 73 juta di antaranya adalah kelompok usia muda.
Dengan adanya ketimpangan kemampuan setiap negara dalam mananggulangi dan memulihkan diri dari dampak pandemi Covid-19, yang diperburuk oleh dampak perubahan iklim, dan masih berlangsungnya konflik bersenjata yang berdampak pada krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan global, maka hampir dapat dipastikan angka kelaparan akut global, berpotensi terus mengalami peningkatan.
Di tengah gambaran paradoks dalam mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat global, gagasan menjadikan Persaudaraan Insani dan Jalan Tengah sebagai pondasi dan titik tumpu, menemui urgensinya.
Pertama, Persaudaraan Insani, sebagaimana kita rujuk pada dokumen “Persaudaraan Insani untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” (Human Fraternity for World Peace and Living Together) yang ditandatangani bersama oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Ahmed el-Tayeb pada tanggal 4 Februari 2019, adalah penegasan komitmen untuk membangun sinergi dan kolaborasi dalam menghadapi berbagai krisis global, seperti konflik bersenjata / perang, penindasan, dan kemiskinan.
Dokumen ini mengedepankan pendekatan transendental untuk membangun semangat persahabatan dan persaudaraan antar umat manusia. Lebih jauh lagi, dokumen ini juga dapat kita maknai sebagai kritik atas realitas global, yang belum sepenuhnya sepadan dengan besarnya upaya kita untuk mewujudkan kehidupan dunia yang damai, adil, dan sejahtera.
Pokok pikiran yang menjiwai gagasan persaudaraan insani, di satu sisi mengisyaratkan urgensi untuk mengedepankan sikap dan perilaku yang berlandaskan pada kemurnian hati nurani, kepekaan sosial, moralitas dan nilai-nilai keagamaan. Di sisi lain, spirit persaudaraan insani juga meniscayakan untuk mereduksi dominasi perilaku individualistis dan materalialistis.
Apsek kedua, konsep Jalan Tengah. Jika kita tarik benang merah dari setiap pemicu terjadinya krisis global, salah satunya adalah adanya gap, ketimpangan, dan ke-tidak-seimbangan, baik dalam dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Kita merasakan, betapa bumi tempat kita berpijak saat ini sudah semakin bertambah “tua”. Kemampuan bumi untuk menopang kehidupan umat manusia semakin menurun, seiring dengan semakin menipisnya dukungan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Kondisi ini diperburuk oleh krisis iklim dan kerusakan lingkungan, yang sebagian besar justru disebabkan oleh kelalaian kita sendiri.
Menurunnya daya dukung semesta terhadap kehidupan umat manusia, berbanding terbalik dengan pertumbuhan penduduk yang melaju dengan deret ukur. Tanggal 15 November 2022 yang lalu, PBB memproyeksikan bahwa jumlah penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 8 miliar jiwa. Ketimpangan kemampuan alam untuk menopang kehidupan penduduk dunia, jika tidak disikapi dengan benar, dapat memicu lahirnya konflik perebutan sumberdaya alam.
Dalam perspektif yang lebih luas, ketidak-seimbangan ini juga tercermin dari derasnya arus liberalisasi dalam segenap aspek kehidupan, yang mendorong tuntutan pemenuhan hak, namun di sisi lain mengesampingkan pemenuhan kewajiban.
Gambaran lain, laju peradaban dan modernitas zaman yang ditopang oleh lompatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga tidak diimbangi oleh peningkatan moralitas dan kebijaksanaan dalam implementasinya. Yang terjadi adalah, penyalahgunaan kemajuan teknologi untuk mencederai dan melukai, bukan untuk mendorong kemajuan peradaban.
Berbagai gambaran ke-tidak-seimbangan tadi meniscayakan hadirnya langkah terobosan. Di sinilah peran penting dari gagasan Jalan Tengah, untuk mendorong terwujudnya keseimbangan tersebut, untuk meminimalisir, dan sekaligus menjadi solusi, atas terjadinya berbagai krisis global.
Kata kunci dari konsepsi Jalan Tengah adalah toleransi dan inklusivitas. Toleransi mendorong lahirnya sikap moderat dan tenggang rasa, bahwa keberagaman dalam budaya, agama, dan berbagai atribut primordialisme lainnya, tidak menghapus fitrah bahwa kita adalah satu saudara dalam kemanusiaan.
Gagasan Jalan Tengah juga harus dibangun oleh semangat inklusivitas, yang dapat merangkul semua kalangan. Tidak ada satu pun entitas global yang merasa tidak dilibatkan atau terwakili aspirasinya.
Komitmen Global
Setiap tanggal 21 September, lonceng perdamaian dibunyikan di markas PBB. Pada hari itu, aksi kekerasan ditiadakan, dan gencatan senjata diberlakukan. Merujuk pada kondisi dunia saat ini, semestinya lonceng perdamaian tersebut berdentang setiap hari.
Saat ini, ketika kita sedang mendorong komitmen global untuk menjaga semangat perdamaian, di belahan bumi yang lain, konflik bersenjata masih terus berkecamuk. Tidak hanya perang Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan ratusan ribu korban tewas dan puluhan juta warga mengungsi, melainkan juga di beberapa negara lainnya yang hingga saat ini masih berjibaku menghadapi konflik.
Di Yaman, sejak awal berlangsungnya konflik telah menyebabkan lebih dari 140.000 korban jiwa. Di Ethiopia, perang saudara menimbulkan lebih dari 9.000 kematian, bahkan menurut sumber lain, korban jiwa diperkirakan lebih dari 50.000 hingga September 2021. Di Afghanistan, pada tahun 2020 saja, jumlah korban jiwa akibat konflik bersenjata mencapai 30.936. Dan di Myanmar, konflik bersenjata sepanjang tahun 2021 telah menyebabkan korban tewas sekitar 11.114 jiwa.
Di sinilah urgensi untuk menjadikan spirit Forum Perdamaian Dunia sebagai komitmen global. Perdamaian adalah konsep universal yang seharusnya begitu mudah untuk difahami dalam berbagai bahasa. Perdamaian sama bernilainya, baik bagi kita yang bertekad untuk memperjuangkannya, maupun bagi mereka yang “sedang” melalaikannya.
Apa pun alasannya, perang hanya akan membawa kerugian, dan meninggalkan bekas luka dan trauma yang membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkannya. Kita juga tidak boleh melupakan, bahwa perang yang sesungguhnya harus kita menangkan, adalah perang melawan kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, serta ketidak-adilan.
Perdamaian adalah keniscayaan bagi setiap komunitas internasional untuk dapat hidup berdampingan. Perdamaian adalah “titik temu” yang mengakomodir berbagai arus aspirasi dan kepentingan, karena dunia ini begitu kaya akan keberagaman, yang tidak mungkin dipaksakan untuk diseragamkan. Namun kita juga menyadari sepenuhnya, bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang given. Perdamaian harus dihadirkan sebagai komitmen kolektif dan diwujudkan dalam langkah implementatif.