Bakamla Bersuara, Natuna Memanas Lagi

Isu soal Laut Natuna Utara kembali memanas. Hal ini setelah pernyataan Bakamla (Badan Keamanan Laut) yang menyinggung masuknya ribuan kapal asing ke Natuna.

Terlepas dari polemik yang mencuat pasca pernyataan tersebut, namun pernyataan itu dikeluarkan oleh pihak yang punya kompetensi wawasan soal Laut Natuna, yang mengeluarkannya adalah pejabat tinggi di internal Bakamla, dari perspektif awam, sudah pasti ia tidak asal bicara.

Bacaan Lainnya

Memang dibutuhkan penjelasan lebih lanjut soal pernyataan tersebut, apakah kapal asing tersebut masuk di wilayah ZEE Indonesia atau masuk di wilayah laut teritorial Indonesia?

Jika kapal asing memasuki wilayah ZEE untuk sekadar melintas dan tidak menangkap ikan di wilayah itu tanpa izin dari pemerintah Indonesia, maka hal itu tidak melanggar kedaulatan, ZEE merupakan laut lepas, perairan internasional yang bebas dilalui kapal asing.

Jadi ZEE bukan laut teritorial yang tidak bisa dilalui kapal asing tanpa izin pemerintah Indonesia, bila ada kapal asing yang masuk ke laut teritorial Indonesia maka ini masuk pelanggaran kedaulatan, dalam konteks ZEE pemerintah tidak punya hak melakukan penegakan kedaulatan berupa pelarangan kapal asing di wilayah tersebut.

Akan tetapi pemerintah sebagai pemilik ZEE di Natuna Utara berhak melakukan pelarangan dan penindakan terhadap kapal asing yang berupaya menangkap ikan di wilayah ZEE. Karena hak pengelolaan sumber daya laut di wilayah ZEE hanya dimiliki oleh negara pemegang hak ZEE dalam hal ini Indonesia.

Inilah yang disebut hak berdaulat, berdaulat atas sumber daya laut di wilayah ZEE, jadi perlu pemahaman jernih agar bisa membedakan laut teritorial dan laut ZEE. Nah, dalam konteks Natuna wilayah laut ZEE yang sering menjadi sengketa, karena kapal-kapal asing khusunya dari China dan Vietnam sering melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut ZEE Indonesia.

China adalah negara yang paling sering melanggar wilayah ZEE Indonesia di Natuna, negara komunis ini rutin mengerahkan kapal-kapal nelayannya untuk menangkap ikan secara ilegal di wilayah ZEE Indonesia. Bahkan kapal-kapal nelayan tersebut dikawal langsung oleh kapal-kapal coast guard China. Artinya secara kebijakan resmi negara China menganggap wilayah ZEE Indonesia adalah wilayah laut mereka.

Hal ini berdasarkan pada klaim sembilan garis putus-putus yang dirilis China, di bagian inilah masalah seriusnya terhadap hak berdaulat Indonesia terhadap wilayah ZEE di Natuna. Tindakan China ini merupakan pelanggaran terhadap hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEE. Apa yang disebut China sebagai sembilan garis putus-putus sama sekali tidak memiliki dasar hukum, ini hanya klaim sepihak saja.

China harus mematuhi wilah ZEE Indonesia di perairan Natuna yang ditetapkan lewat UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982 karena China merupakan bagian dari UNCLOS 1982.

Pada posisi ini perlu kebijakan yang super tegas dari pemerintah, minimal kebijakan pertahanan militer dan kebijakan untuk para nelayan di Natuna. Dari segi kebijakan pertahanan maka pemerintah sangat perlu memastikan ketersediaan alat pertahanan yang layak untuk mengamankan laut Natuna.

Kita cukup kaget mendengar pengakuan Bakamla yang secara terbuka memyebut sarana dan prasarana untuk untuk mengamankan laut Natuna masih sangat terbatas. Kapal patroli hanya tersedia sekitar sepuluh unit, jauh dari kata cukup untuk mengamankan Natuna yang luas. Kapal-kapal berada dalam kondisi miris, kapal-kapal tersebut kekurangan bahan bakar sehingga tidak bisa beroperasi maksimal, bahkan Bakamla sama sekali tidak memiliki pesawat untuk pengamanan udara.

Kondisi ini tidak boleh terjadi bila ingin Natuna aman dari campur tangan asing. Dari sisi Nelayan, pemerintah perlu mencetuskan dan merealisasikan kebijakan yang memungkinkan nelayan bisa melaut dengan maksimal di Natuna, pembangunan pangkalan nelayan sangat perlu. Di laut para nelayan harus mendapat rasa aman saat melaut.

Tidak boleh lagi ada cerita nelayan Indonesia khawatir melaut di wilayah ZEE di perairan Natuna karena takut dengan kehadiran kapal asing China dan Vietnam yang mondar mandir di wilayah tersebut.

Zaenal Abidin Riam
Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *