JAKARTA – Pemerintah berencana mengaudit perusahaan produsen sawit pada Juni 2022 mendatang. Menanggapi hal itu, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak, mengatakan, persoalan stok dan harga minyak goreng sebaiknya dilihat dari sisi demand atau kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Artinya audit yang paling mendesak saat ini sebaiknya dengan menjadikan sisi konsumsi (demand) ini sebagai patokan. Dengan kata lain pemerintah harus menetapkan patokan harga jual produk akhir (minyak goreng) dan jumlah kebutuhannya.
Ketetapan saat ini, lanjut Amin, adalah aturan mengenai HET yang dipatok Rp14 ribu per liter dengan jumlah kebutuhan sebanyak 10 juta ton CPO. Dengan menjadikan dua garis batas dari sisi demand tersebut, maka audit yang mendesak saat ini adalah berapa biaya produksi dan margin keuntungan yang wajar untuk memproduksi satu liter minyak goreng.
“Jangan-jangan dengan audit yang transparan dan bebas dari kepentingan, HET nya bisa dibawah Rp14 ribu per liter. Ini tentu harus dibuktikan lewat audit tersebut, ” ujarnya.
Lebih lanjut Ia mengatakan, audit kedua yang saat ini urgent adalah audit data pasokan dan distribusi CPO dan minyak goreng. Selama ini, masyarakat curiga, apakah pengusaha betul-betul mematuhi ketentuan DMO 20% CPO, apakah betul CPO tersebut dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri, apakah minyak goreng yang diproduksi itu betul-betul didistribusikan untuk kebutuhan dalam negeri, apakah pengusaha mentaati aturan kewajiban memenuhi pasokan minyak goreng
curah.
“Dengan mekanisme audit yang transparan dan bebas kepentingan, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab,” tegasnya.
Menurut Amin, audit dan sikap tegas menegakkan aturan berikut sanksinya adalah dua hal yang berbeda. Selama ini pemerintah sudah menggaungkan audit ini, namun pada prakteknya, hasil audit tidak dipublikasikan secara transparan, pun demikian dengan sanksi bagi pengusaha yang melanggar tidak pernah serius dan tegas diterapkan oleh pemerintah. Jangan sampai, hasil audit hanya menjadi macan ompong atau bahkan jadi alat tawar menawar kepentingan penguasa dan oligarki sawit.
“Poin ini menjadi kunci apakah audit yang dilakukan akan berdampak pada stabilitas dan pengendalian harga dan pasokan minyak goreng di dalam negeri, terutama minyak goreng curah,” katanya.
Publik menganggap jika Menteri Luhut punya keterkaitan erat dengan industri sawit, termasuk kepemilikan Luhut pada perusahaan sawit tertentu, bagaimana Luhut bisa menjamin tidak ada konflik kepentingan dalam tata kelola industri sawit dan minyak goreng.
“Ini juga harus bisa dijelaskan kepada publik secara transparan,” pungkasnya. (Lesmana)