Gagasan ini tidak muncul tiba-tiba. Gagasan ini sudah lama mengendap ketika saya menulis di koran Republika, perkara Ekonomi Haji. Saya menemukan fakta betapa gurih dan membludaknya surplus ekonomi yang ditimbulkan oleh satu sektor saja dari perkara ibadah dalam Islam: yaitu haji. Sekarang rasa gemas saya makin kuat ketika melihat betapa besarnya perputaran ekonomi dari ibadah qurban. Ibadah qurban ini, untuk kasus Indonesia saja, telah memigrasikan ribuan sapi dari NTB lengkap dengan petaninya ke wilayah Jabodetabek. Belum dari NTT, Bali dan dan daerah-daerah lain.
Bayangkan, berapa perputaran ekonomi dari sektor ibadah qurban ini dalam satu musim per tahun. Berapa angka transaksi yang terhimpun dari ribuan sapi NTB itu saja. Berapa biaya transportasi sapi dan para pengurus sapi itu dari wilayah NTB ke Jabodetabek. Berapa biaya pemeliharaan, kandang dan makan ribuan sapi itu selama rata-rata dua bulan hingga hari penyembelihan atau kembali lagi ke tempat semula. Berapa biaya makan para pengurus dan pemelihara ribuan sapi itu. Pendeknya, sangat besar. Ini baru satu akibat ekonomi yang ditimbulkan oleh ibadah qurban. Sedangkan umat Islam memiliki banyak instrumen ekonomi yang bersumber dari ajaran-ajaran normatifnya.
Dari perenungan yang lama, akhirnya saya berkesimpulan, umat Islam urgen dan mendesak sekali menubuhkan suatu badan yang berfungsi semi pemerintah, terutama mengurusi keluar – masuk surplus ekonomi golongan ini. Sembari badan semacam ini berguna menggembleng kader-kader yang berlatih akuntabilitas, kredibilitas, kapabilitas, akseptabilitas dan inovasi kepemimpinan sosial ekonomi.
Badan ini tidak dimaksudkan untuk menyaingi institusi pemerintah yang sudah ada. Malahan mendukungnya, dengan mengurangi beban pemerintah yang banyak sekali absen melayani kepentingan umat Islam.
Badan ini terutama fungsi awalnya mengumpulkan data valid segala potensi dan kekuatan dan kemampuan ekonomi umat Islam dalam memandirikan dan memperkaya komunitasnya. Mulai dari penghimpunan dan pengoptimalan aspek normatifnya yang memungkinkan umat Islam harusnya kaya dan mandiri, seperti instrumen zakat, wakaf, qurban, akikah, dan sebagian wilayah yang belum seluruhnya diurus oleh pemerintah dari sisi tertentu dari perkara haji, umroh, nikah, talak, rujuk, yang semua instrumen normatif umat itu membawa dan mengandung surplus ekonomi.
Itu dari sisi normatif. Adapun dari sisi aset, baik aset fisik seperti lahan milik umat Islam seperti Masjid dan Musholla, lahan wakaf produktif seperti perkebunan, lahan milik yayasan dari umat, seperti pesantren, sekolah terpadu, universitas dan perguruan tinggi, rumah sakit Islam, atau perusahaan seperti hotel syari’ah, lembaga keuangan Islam, perusahaan orang Islam yang patuh terhadap zakat, maupun komoditi yang dimiliki umat Islam, seperti busana muslim, produk herbal, makanan, dst, maupun dari sisi aset SDM yang melimpah ruah itu.
Itu baru gambaran kasar. Jika disurvei dan didata, angka dan volumenya mungkin membludak. Itu semua harus diurus dengan benar dan sesuai tujuan normatif Islam itu. Sehingga sebisa mungkin semuanya guna menguntungkan umat Islam dan mencegah surplusnya lari dan mengalir ke bukan kemanfaatan Islam dan umat Islam seperti selama ini.
Saya mendapati kenyataan, bagaimana dari lapak haji saja, kemanfaatan ekonominya dinikmati oleh yang bukan menguntungkan orang Islam seperti suplai transfortasinya dinikmati oleh pihak yang tidak percaya pada ibadah haji itu. Demikian juga suplai garmennya dan lain-lainnya. Sangat ironis. Inilah akibat kealfaan dan kebodohan umat Islam.
Bahkan sekarang dalam momen hari raya qurban ini, saat mana perputaran ekonomi dari bisnis suplai sapi dan kambing serta domba demikian melonjak dan sangat besar, malahan pemasok besarnya secara ironis dimainkan oleh pihak yang tidak percaya dengan ibadah qurban itu.
Badan atau institusi ini, yang ideologinya: dari umat Islam untuk umat oleh umat ini dapat memulai pekerjaannya dari pengumpulan data dan informasi menyeluruh dan strategis terkait potensi dan fakta ekonomi umat.
Setelah itu, mengelola dan mengarahkannya guna keuntungan dan kemakmuran umat Islam.
Ayo, apalagi. Jangan tunggu kiamat. Bergeraklah dan mulai saja. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kasihan umat ini jadi pasar dan objek orang yang tidak percaya pada ajaran Islam.
~ Syahrul Efendi Dasopang, Pemred EkonomiKa