Ubah Persepsi Mahasiswa Terkait Gender melalui Kuliah Umum

filter: 0; fileterIntensity: 0.0; filterMask: 0; module: j; hw-remosaic: 0; touch: (-1.0, -1.0); modeInfo: ; sceneMode: Hdr; cct_value: 0; AI_Scene: (-1, -1); aec_lux: 230.95267; hist255: 0.0; hist252~255: 0.0; hist0~15: 0.0;

SIDOARJO – Maraknya kasus perundungan yang saat ini terjadi di satuan pendidikan, boleh jadi pemahaman tentang gender responsif dan pencegahan terhadap perundungan belum banyak dilakukan. Apalagi fenomena saat ini, guru takut untuk menegur siswa saat siswa melakukan perundungan karena khawatir dengan ancaman pidana yang semakin marak akibat banyaknya laporan orangtua terkait gurunya.

Komisi Perlindungan Anak (KPAI) merilis data sekitar 3.800 kasus perundungan terjadi di Indonesia sepanjang 2023. Data ini meningkat signifikan dibandingkan data tahun sebelumnya yang dihimpun dari KPAI dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dimana tercatat 226 kasus di 2022, 53 kasus di 2021 dan 119 kasus di 2020. Ironisnya, kasus perundungan ini meningkat dari tahun ke tahun.

Bacaan Lainnya

Ketua Pusat Studi Gender, Perempuan, dan Perlindungan Anak (PSGPA), Kemil Wachidah sekaligus Kaprodi PGSD Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) mengungkapkan bahwa, hal ini harus dicegah dengan membekali para mahasiswa calon guru dengan pemahaman gender responsif.

Untuk itu, bertempat di Hall Nyai Walidah Kampus 3, Prodi PGSD Universitas Muhammadiyah Sidoarjo pada (02/12/2024) bekerja sama dengan Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) menyelenggarakan Kuliah Umum Pembelajaran Gender Responsif baik secara daring dan luring yang dihadiri oleh 520 mahasiswa dan masyarakat umum.

Kuliah umum yang dipandu oleh Kemil ini menghadirkan 3 orang narasumber yakni Indra Budi Setiawan Penanggungjawab Kekerasan Seksual Tim Pencegahan Kekerasan Seksual Puspeka Kemendikdasmen, Nurokhmah Fitrani Kepala SDN Karangtanjung Sidoarjo, dan Joan Wicitra Gender and Child Protection Lead INOVASI.

Kuliah umum berkonsep talkshow yang dipandu oleh Kemil ini mencoba membuka wawasan mahasiswa calon guru agar lebih memahami tentang gender responsif di satuan pendidikan.

Dalam paparannya Indra menjelaskan tentang berbagai macam kekerasan yang muncul di satuan pendidikan dan saat ini tren kekerasan di satuan pendidikan mengalami peningkatan.

Untuk itu pemerintah sejatinya telah berupaya mencegah adanya kekerasan di satuan pendidikna dengan munculnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP).

Menurut Indra, Permendikbudristek ini disahkan sebagai payung hukum untuk seluruh warga sekolah atau satuan pendidikan. Peraturan ini lahir untuk secara tegas menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi serta membantu satuan pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi mencakup kekerasan dalam bentuk daring, psikis, dan lainnya dengan berperspektif pada korban.

Nurokhmah Fitrani menjadi salah satu narasumber yang menarik dalam kuliah umum ini karena mampu menjelaskan bagaimana responsif gender itu diterapkan di satuan pendidikan secara nyata terutama di sekolah.

“Tidak mudah memberikan pemahaman responsif gender kepada siswa dan lingkungan sekolah termasuk orangtua. Mereka menganggap gender itu tidak penting. Namun sebagai pendidik saya berusaha memberikan pemahaman baik kepada siswa dan orangtua.

“Salah satunya saat saya menjadi guru dimana saya harus menyampaikan materi tentang pubertas, menciptakan media pembelajaran yang bisa mejelaskan secara mudah bagaimana proses menstruasi melalui media wayang. Hal ini tentu saja menarik minat siswa sehingga materi lebih mudah dipahami untuk seluruh siswa baik laki-laki maupun perempuan,” urainya.

Joan mengungkapkan banyak kekerasan berbasis gender yang marak dilakukan namun karena sudah dianggap biasa kemudian dibiarkan saja. Padahal hal tersebut jelas bisa dianggap sebagai kekerasan berbasis gender. Misalnya saja yang menjadi pembiasaan dalam lingkungan kita adalah meremehkan perempuan saat menjadi pemimpin karena perempuan dianggap lemah, tidak tegas, tidak memiliki jiwa kepemimpinan dan masih banyak lagi.

Dijelaskan Joan, kegiatan kuliah umum ini juga bersamaan dengan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence). Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa, kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

“Dengan adanya kegiatan ini, kami berharap para mahasiswa calon guru sudah mulai dapat memahami bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender dan dapat mencegah kekerasan tersebut terjadi baik di lingkungan kampus maupun di satuan pendidikan saat mereka nanti menjadi guru,” tegasnya.

Kegiatan kuliah umum ini juga dapat diikuti secara daring melalui laman YouTube Umsida1912 : https://www.youtube.com/live/_loOj1vBXck?si=mnlM05xmF_afWVC3 dan laman YouTube INOVASI : https://www.youtube.com/live/NrrFs2cW8dY?si=0XwhxdqAfm-zt0nz. (ari)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *