Total Uang
Akibat uang, muncul jasa joki dalam mengejar gelar guru besar atau profesor di Indonesia. Itu menurut laporan Kompas. Akibat uang, caleg bisa diatur: caleg jadi atau caleg hore-hore. Akibat uang, orang jadi pelacur. Dalil agama dan fatwa bisa distel. Ah, itu uda biasa.
Tapi satu hal, mengapa uang atau duit begitu digdaya dalam kehidupan kita sebagai manusia saat ini?
Uang atau duit diciptakan tadinya untuk mempermudah urusan ekonomi antar manusia. Namun rupanya berkembang kepada sebaliknya. Karena motif duit, memperumit setiap hal.
Karena duit, terjadi permusuhan. Karena duit, teman jadi penghianat. Orang baik-baik, jadi orang keji. Pendeknya, duitlah biangkeladi dari setiap pertikaian antar manusia.
Duit hampir menjadi penyulap laksana tukang sihir fir’aun. Yang sah menjadi batal, yang salah menjadi benar. Yang benar jadi salah. Yang bejat jadi terpandang.
Umat manusia sejak menjadikan duit sebagai poros pertukaran dan nilai ekonomi mereka, maka duit pun menjadi dewa. Kini hampir semua hal aktivitas manusia, melibatkan peranan duit. Mungkin satu-satunya aktivitas yang tidak melibatkan duit, yaitu berdoa kepada Allah. Tapi jangan coba-coba berdoa di tempat suci di Masjidil Haram, karena Anda harus keluarkan duit untuk transportasi dan akomodasi ke sana.
Duit ini adalah benda mati. Dia bukanlah subjek yang dapat berkehendak. Tapi orang yang memiliki sejumlah duit, memiliki kehendak, pilihan dan keputusan. Maka siapa yang paling banyak memiliki dan menguasai duit, maka dia hampir menjadi dewa. Dia dapat membalik keadaan, dari terhina menjadi terhormat. Apalagi di dalam situasi kehidupan ekonomi saat ini berbasis total uang. Tak terbayangkan jika total uang ini nantinya bergeser lagi menjadi total digital money. Yang menjadi dewa mungkin bukan lagi perusahaan penerbit dan pencetak uang seperti pemerintah dan bank sentral, atau distributor uang seperti bank-bank dan perusahaan keuangan. Tapi oleh perusahaan-perusahaan teknologi keuangan yang teratur secara global. Maka manusia sudah ibarat robot yang dicatu batas keuangannya secara otomotis. Sekarang pun kita sudah rasakan ketika mengambil uang di ATM. Ada batas maksimum yang dapat diambil.
Sebetulnya, sejak duit ditemukan dan digunakan sebagai alat interaksi ekonomi manusia, maka rezeki manusia, atau tepatnya kebutuhan manusia, makin bergantung kepada antar manusia. Tadinya rezeki manusia berada di alam dan dapat diperoleh langsung ke alam. Sekarang hampir tidak bisa lagi. Lahan dan isi alam, ada klaim kepemilikannya. Kalau bukan pribadi, bisa lembaga, perusahaan, terakhir negara. Alam yang tadinya menyediakan kebutuhan manusia secara gratis, kini tidak bisa lagi, sudah ada klaim kepemilikan dan penguasaannya.
Seiring makin meningkatnya sistem total uang dalam interaksi kehidupan manusia, lahan-lahan pun makin terkonsentrasi kepemilikannya kepada segelintir orang. Apakah ini suatu kebetulan atau suatu hal yang dirancang sedemikian rupa agar proses total uang makin tak terhalangi dan makin mencapai tujuan akhirnya?
~ Syahrul Efendi Dasopang, Pengamat Sosial