Tinggalkan Pemilu dan Tegakan Kedaulatan Rakyat dengan Kembali ke Pancasila dan UUD 1945

Hari ini kita bisa menyaksikan banyak yang tidak mengerti apa itu Bhinneka Tunggal Ika, ada yang mengadakan Carnaval Bhinneka Tunggal Ika tetapi tidak paham apa itu Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan Presiden pada waktu keliling mengunjungi tentara elit dan Kepolisian mengatakan ‘TNI harus menjaga Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika’.

Artinya Presiden tidak mengerti bahwa sejak UUD 1945 diamandemen dan dijalan kan nya UUD 202 negara ini sudah bukan negara Panca Sila yang Ber Bhinneka Tunggal Ika sudah diganti hanya satu golongan partai politik .

Bacaan Lainnya

Jika negara ini masih mengunakan dasar bernegara nya Panca Sila maka cirikhas Negara Panca Sila yang tidak dipunyai oleh Sistem Presidensial , maupun Parlementer adalah :

Adanya Majelis Rakyat yang mewadahi Bhinneka Tunggal Ika yang disebut MPR. Karena MPR adalah lembaga tertinggi maka Presiden adalah Mandataris MPR .

Adanya rumusan Politik Rakyat yang mengambarkan Bhinneka Tunggal Ika yang disebut GBHN.

Oleh sebab itu, Presiden harus menjalankan GBHN dan tidak boleh menjalankan Politik nya sendiri atau politik golongan nya .apa lagi petugas partai.

Di masa akhir dari jabatan Presiden harus mempertangungjawab kan sudah sampai dimana GBHN dijalankan, dan jika Presiden menyeleweng dari GBHN maka Presiden bisa diturunkan, inilah bentuk kedaulatan rakyat yang sesungguhnya .

Kita bisa melihat sekarang ini karut marut nya ketatanegaraan kita karena tidak lagi berdasar pada apa yang telah menjadi kesepakatan bersama pendiri bangsa ini, kita sebagai bangsa telah dibodohi dengan amandemen UUD 1945.

Padahal UUD 1945 itu adalah akte berdiri nya Negara Bangsa Indonesia, bisa kita bayangkan akte ‘Pendirian Negara’ diamandemen ibarat sebuah perusahaan dirubah akte pendiriannya tanpa mengikut sertakan pemilik saham terbesarnya. Ini bukannya ini tidak sah?

Akibat perubahan itu pemegang saham bukan lagi pemilik kedaulatan. Sebab Kedaulatan hanya berada di tangan rakyat yang dijalankan menurut UUD 1945.

Kedaulatan Rakyat telah di bajak menjadi Kedaulatan milik partai politik, Milik ketua Partai mengapa? mari kita tenggok adalah calon DPR, DPRD, Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, tanpa persetujuan ketua partai?

Tidak mungkin karena kedaulatan tidak berada ditangan rakyat maka rakyat hanya memilih apa yang sudah dipilih oleh ketua partai, bahkan bisa jadi pilihan mayoritas anggota partai kalah dengan pilihan ketua Partai ,tergantung WANI PIRO …………………..???

Sebuah catatan Sidang BPUPKI

Toean-toean dan njonja-njonja jang terhormat. Kita telah menentoekan di dalam sidang jang pertama, bahwa kita menjetoedjoei kata keadilan sosial dalam preambule. Keadilan sosial inilah protes kita jang maha hebat kepada dasar individualisme.

Tidak dalam sidang jang pertama saja telah menjitir perkataan Jaures, jang menggambarkan salahnja liberalisme di zaman itoe, kesalahan demokrasi jang berdasarkan kepada liberalisme itoe.

Tidakkah saja telah menjitir perkataan Jaures jang menjatakan, bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen mendjadi rapat radja-radja, di dalam liberalisme tiap-tiap wakil jang doedoek sebagai anggota di dalam parlemen berkoeasa seperti radja.

Kaoem boeroeh jang mendjadi wakil dalam parlemen poen berkoeasa sebagai radja, pada sa’at itoe poela dia adalah boedak belian daripada si madjikan, jang bisa melemparkan dia dari pekerdjaan, sehingga ia mendjadi orang miskin jang tidak poenja pekerdjaan. Inilah konflik dalam kalboe liberalisme jang telah mendjelma dalam parlementaire demokrasinja bangsa2 Eropah dan Amerika.

Toean-toean jang terhormat. Kita menghendaki keadilan sosial. Boeat apa grondwet menoeliskan, bahwa manoesianja boekan sadja mempoenjai hak kemerdekaan soeara, kemerdekaan hak memberi soeara, mengadakan persidangan dan berapat, djikalau misalnja tidak ada sociale rechtvaardigheid jang demikian itoe?

Boeat apa kita membikin grondwet, apa goenanja grondwet itoe kalau ia ta’dapat mengisi “droits de l’homme et du citoyen” itoe tidak bisa menghilangkan kelaparannja orang jang miskin jang hendak mati kelaparan.

Maka oleh karena itoe, djikalau kita betoel-betoel hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeloeargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong, faham keadilan sosial, enjahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanja.

Marilah kita menoendjoekkan keberanian kita dalam mendjoendjoeng hak kedaulatan bangsa kita, dan boekan sadja keberanian jang begitoe, tetapi djoega keberanian mereboet faham jang salah di dalam kalboe kita.

Keberanian menoendjoekkan, bahwa kita tidak hanja membebek kepada tjontoh2 oendang2 dasar negara lain, tetapi memboeat sendiri oendang2 dasar jang baroe, jang berisi kefahaman keadilan jang menentang individualisme dan liberalisme; jang berdjiwa kekeloeargaan, dan ke-gotong-royongan.

Keberanian jang demikian itoelah hendaknja bersemajam di dalam hati kita. Kita moengkin akan mati, entah oleh perboeatan apa, tetapi mati kita selaloe takdir Allah Soebhanahoewataala. Tetapi adalah satoe permintaah saja kepada kita sekalian: Djikalau nanti dalam zaman jang genting dan penoeh bahaja ini, djikalau kita dikoeboerkan dalam boemi Indonesia, hendaklah tertoelis di atas batoe nisan kita, perkataan jang boleh dibatja oleh anak-tjoetjoe kita, jaitoe perkataan: “Betoel dia mati, tetapi dia mati tidak sebagai pengetjoet”.

Para Komprador dan Blandits serta para pengecut yang telah mengamandemen UUD 1945 telah menjerumuskan bangsa ini, sehingga Kolonialisme dengan diamandemen nya UUD 1945 menjadi legal dan ini bisa kita melihat UU yang dihasilkan setelah amandemen UUD 1945.

Sejak pasal 1 ayat 2 UUD 1945 Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diganti dengan Keadulatan berada ditangan rakyat dilakukan menurut UUD maka detik itu juga negara proklamasi yang berdasar pada Pancasila telah ambruk.

Sebab telah merubah sistem kolektivisme, kekeluargaan, gotongroyong, Pancasila dengan sistem MPR menjadi Individualisme liberalisme dengan sistem Presidensial.

Adalah bentuk kudeta terhadap golongan golongan bangsa Indonesia oleh sebab itu tinggalkan pemilu tegakan kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan ketua partai politik.

Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Study Kajian Rumah Pancasila

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *