Tiga (3) Paradoks Pendidikan Formal di Indonesia

Pendidikan Indonesia mengalami paradoks yang melimpah, tetapi terdapat tiga pradoks yang akan disoroti dalam tulisan ini. Kita sering membanggakan kemampuan kita menembus perguruan tinggi favorit, tetapi bila kita di luar negeri, perguruan tinggi favorit tersebut sama sekali tidak dipandang hebat oleh negeri lain.

Kemestian Revolusi Sistem Pendidikan

Bacaan Lainnya

Untuk masuk dalam setiap jenjang pendidikan, setidaknya terdapat tiga paradoks berikut:

1. Sulit, rumit, panjang dan mahalnya jadi Sarjana. Untuk diterima di PTN guna memperoleh pendidikan level sarjana, seseorang harus menempuh minimal sebagai berikut:

a. Mengeluarkan biaya yang besar, baik untuk masuk pendaftaran pada setiap jenjang maupun selama proses pendidikan hingga keluar dari sistem pendidikan guna memperoleh ijazah.
b. Menghabiskan waktu 6 tahun SD, 3 tahun SMP dan 3 SMA, sehingga total waktu yang dihabiskan 12 tahun. Membangun kebun sawit dengan waktu 12 tahun, sudah panen entah berapa kali. Selama rata-rata 12 tahun, barulah seseorang dapat masuk ke jenjang pendidikan sarjana.
c. Menempuh test masuk perguruan tinggi seperti dipersulit dan membuka berbagai jalur yang bikin tidak sederhana serta membuka praktik korupsi terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Khususnya jalur mandiri.

2. Paradoks Lulusan Perguruan Tinggi bahwa mayoritas koruptor adalah sarjana. Menurut Abdullah Hehamahua, statistik menemukan, bahwa koruptor terbanyak adalah sarjana. Bahkan S3 dan Profesor, banyak yang koruptor.

3. Sarjana banyak yang menganggur. Dan konglomerat-konglomerat serta pengusaha-pengusaha besar, tidak mengandalkan pendidikan formal dalam pembentukan karir dan usahanya. Kebanyakan mereka tidak sarjana, mulai yang terkenal seperti Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Wijaya, Sukanto Tanoto, Bob Hasan, Tomy Winata dst.

Para sarjana, justru dipekerjakan oleh para pengusaha besar tersebut untuk membangun kerajaan bisnis mereka.

Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan sarjana berorientasi menjadi pengisi lowongan pekerjaan di perusahaan swasta dan pengisi lowongan birokrasi pemerintahan. Bukan sebagai kreator dan inovator sosial, bisnis dan sektor lainnya. Akibatnya dapat diprediksi, rasio jumlah lulusan dan jumlah peluang kerja tidak sebanding dari segi kuantitatif maupun kualitatif yang diminta. Inilah yang mengakibatkan pengangguran sarjana yang tetap berlanjut hingga sekarang ini.

Mengatasi tiga paradoks pendidikan di Indonesia ini, haruslah dijebol dengan revolusi sistem pendidikan. Revolusi pendidikan ini harus mengatasi waktu yang lama, biaya yang mahal dan tidak terlink and match-nya keluaran pendidikan ke berbagai sektor kehidupan, terutama bisnis, sosial, politik, dan birokrasi.

Saat ini saja, tersedia 5.831 pekerjaan dalam industri politik yang organik dengan kebutuhan negara. Dari pusat, 38 provinsi ditambah 514 kabupaten dan kota, tersedia 5831 jabatan anggota KPU dan Bawaslu di berbagai tingkatan, plus 7 jabatan DKPP.

Ini adalah tulang punggung yang menopang industri pemilu, pilkada dan pilpres yang sarat uang.

Belum ditambah dengan ribuan lainnya jabatan anggota legislatif dari kabupaten/kota hingga pusat. Menurut rilis resmi KPU yang bisa dilihat pada https://www.kpu.go.id/berita/baca/11395/dapil-dan-jumlah-kursi-anggota-dpr-dan-dprd-dalam-pemilu-tahun-2024, Daerah Pemilihan (Dapil) dan Jumlah Kursi Anggota DPR sebanyak 84 Dapil dan 580 Kursi, DPRD Provinsi sebanyak 301 Dapil dan 2.372 Kursi, serta DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 2.325 Dapil dan 17.510 Kursi, sehingga total keseluruhan 2.710 Dapil dan 20.462 Kursi.

Semua jabatan tersebut, sampai sejauh ini masih diisi dengan tanpa latar keilmuan yang relevan, yang akibatnya, produk-produk politik jauh dari mutu yang diharapkan. Hal ini merupakan tantangan dan renungan tersendiri untuk diatasi.

Oleh: Syahrul Efendi Dasopang, Direktur Eksekutif The Indonesian Reform Institute

Pos terkait