JAKARTA – Akademisi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Fahmi Fahrudin Fadirubun, menilai, terpilihnya terduga anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan masalah serius. Karenanya, perlu menjadi atensi bagi segenap pihak.
“Hal ini akan berdampak besar ke depannya, ya. Salah satunya, menggangu stabilitas keamanan daerah dan nasional,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (21/8).
Selain itu, “merawat” konflik sosial dan bersenjata di Papua karena diyakininya bakal semakin berkepanjangan. “Kerahasiaan negara juga akan mudah bocor karena diduga ada anggota separatis dalam jabatan-jabatan strategis, termasuk di Bawaslu ini,” sambungnya.
Diketahui, terduga anggota OPM, Guripa Telenggen, dilantik sebagai salah satu Komisioner Bawaslu Puncak, Papua, periode 2023-2028 pada Sabtu (19/8). Pelantikan dilakukan karena ia terpilih berdasarkan Pengumuman Bawaslu RI Nomor 2571.1/KP.01.00/K1/08/2023 yang diteken Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, pada 18 Agustus 2023.
Guripa pun pernah diadukan oleh masyarakat atas aktivitasnya tersebut. Laporan disampakan pada 4 Agustus 2023 dan diterima Kepala Sekretariat Bawaslu Papua Tengah, Amin Ramin.
Lebih jauh, Fahmi menyesalkan adanya kasus tersebut. Sebab, menunjukkan buruknya sistem seleksi dan rekrutmen komisioner Bawaslu. Padahal, perbuatan makar termasuk pidana dan terancam hingga penjara seumur hidup serta bertentang dengan syarat calon komisioner Bawaslu, yang diatur dalam Pasal 117 ayat (1) poin C Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
“Hal ini tentu sangat kita sayangkan karena menunjukkan lemahnya sistem seleksi, rekrutmen. Seharusnya, Bawaslu RI melibatkan aparat terkait, seperti intelijen, untuk background check,” jelasnya.
“Kasus ini sama seperti pegawai PT KAI yang belum lama ini ditangkap Densus 88 karena diduga berkaitan dengan jaringan teroris. Ia bahkan sudah berbait kepada ISIS sebelum masuk. Itu, kan, juga menunjukkan buruknya proses rekrutmen dalam lembaga atau perusahaan negara,” tandasnya.