Terancamnya Demokratisasi di Desa

Salah satu isu yang hangat diperbincangkan dalam satu minggu terakhir ialah tentang perpanjangan masa jabatan Kepala Desa yang dalam Pasal 39 Undang-undang No. 6 Tahun 2014 berbunyi “Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut”. Pasal 39 ini menjadi tuntutan utama dari Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dan yang disampaikan Menteri Desa Abdul Halim Iskandar ketika melakukan pertemuan dengan para pakar ilmu di UGM.

Dalam menganalisa persoalan ini, ada 3 aspek yang harus diperhatikan berkaitan dengan direvisinya aturan Perundang-undangan yang ada, termasuk adanya tuntutan dari APDESI yang berkaitan dengan Pasal 39 tentang masa jabatan Kepala Desa. Umumnya dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, ketiga aspek yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis.

Bacaan Lainnya

Konteks yang dijadikan analisa dalam adanya tuntutan dari APDESI, bisa di analisa dari konteks sosiologis. Secara sosiologis alasan mendasar dari adanya tuntutan ini, masa jabatan 6 tahun yang diemban belum cukup untuk menuntaskan program-progam yang ada. Alasan lainya, masyarakat diuntungkan karena bisa menekan konflik akibat Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).

Dalam sistem demokrasi, yang dikehendaki adalah adanya sirkulasi elit (pergantian kekuasaan). Desa sebagai unit terkecil dalam sebuah negara dan bersentuhan langsung dengan masyarakat, harus menjaga iklim demokrasi dengan tetap adanya pergantian kekuasaan dengan mekanisme yang sudah ditetapkan. Mohammad Hatta dalam bukunya demokrasi kita menjelaskan, demokrasi yang benar-benar sesuai dengan kondisi sosial budaya di Indonesia adanya di Desa. Karena di Desa prinsip musyawarah, gotong royong, kekeluargaan, jauh sebelum Indonesia merdeka sudah ada diterapkan di Desa. Apa yang di jelaskan oleh Hatta sejalan dengan Pasal 3 Undang-undang No.6 Tahun 2014 yang berkaitan dengan asas pengaturan Desa. Di pasal 3 ada 13 asas yang harus di perhatikan dalam mengatur Desa, beberapa diantaranya asas musyawarah, kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong. Artinya dalam pasal 3 tersebut setiap pelaksanaan pemberdayaan, pembangunan yang ada di Desa harus memperhatikan asas-asas tersebut.

Jadi dengan tafsiran sederhana pun berdasarkan asas pengaturan Desa, sangat memperhatikan ruang-ruang agar terciptanya demokratisasi.
Alasan masa perpanjangan jabatan Kepala Desa dalih ingin menuntaskan program kerja dan demi meminimalisir terjadinya konflik setelah Pilkades sangat bermuatan politis. Ada kecenderungan bahwa oligarki serta korupsi mulai tumbuh di Desa seiring dengan besarnya anggaran baik Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maupun Dana Desa yang berasal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Bisa jadi tuntutan ini lahir karena semenjak besarnya Dana Desa yang dianggarkan memicu keinginan dari tiap Kepala Desa dengan melanggengkan kekuasaan, akhirnya dengan lamanya masa jabatan terbuka kesempatan untuk “main serong”. Selain itu, masa jabatan 9 tahun mematikan kesempatan bagi yang lain. Sementara yang sekarang trend di Desa, pemimpin-pemimpin muda mulai bermunculan karena kepemimpinan di desa sangat menjanjikan baik dari segi anggaran maupun aspek lainya. Kalau di perpanjang menjadi 9 tahun, sirkulasi elit semakin lama, dan partisipasi publik yang diharapkan dalam sistem demokrasi menjadi minim. Bisa jadi gagasan visioner dan orang-orang yang mau membangun desa menjadi hilang karena dari segi waktu terlalu lama. Apalagi 9 tahun 1 kali masa jabatan, lalu terpilih dalam 3 kali masa jabatan berarti totalnya 27 tahun.
Jadi kekuasaan yang terlalu lama itu cenderung absolut dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Akhirnya berpotensi minim gagasan-gagasan baru.

Dalam sejarah Indonesia pernah punya rezim Orde Baru yang berkuasa kurang lebih 32 tahun. Selama 32 tahun berkuasa, rezim Soeharto sangat kental dengan praktek KKN. Kenapa kental dengan praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme karena terbuka kesempatan serta berkuasa dalam waktu yang lama.

Tidak menutup kemungkinan bahwa dengan diperpanjangnya masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun, sekali lagi akan membuka kesempatan bagi praktek KKN yang mengarah pada penyalah gunaan kekuasaan.

Alasan yang lain berkaitan dengan perpanjangan masa jabatan kepala desa akan meminimalisir konflik. Pertanyaannya siapa yang bisa memastikan bahwa dengan jabatan Kepala Desa 9 tahun akan menyelesaikan keterbelahan di masyarakat? Secara umum, masyarakat ada Indonesia melek politiknya masih rendah. Bahkan sekarang cenderung pada praktek politik transaksional. Masyarakat yang ada di Desa sangat minim dalam pengetahuan dan pendidikan politik, sehingga masih jauh dari tipologi pemilih rasional.

Kondisi ini tentunya yang disalahkan siapa, masyarakat atau elit? Desain politik yang diterapkan selama ini adalah politik transaksional, sehingga kedewasaan politik dengan mengedepankan etika dan moral serta prinsip-prinsip kemanusian masih jauh adanya di masyarakat.

Akhirnya fenomena yang terjadi sekarang benar-benar harus di pertimbangkan secara bijak dan adil, karena ini menyangkut unit dasar yang harus terus diberdayakan dengan tetap memperhatikan asas-asas demokrasi. Sekarang untuk mempercepat pemberdayaan dan pembangunan di Desa, dana Desa dari segi anggaran harus ditambah supaya terciptanya kesejahteraan dan pembangunan yang berkeadilan di Desa, termasuk kenaikan gaji dan tunjangan Kepala Desa dan perangkat Desa. Bukan menambah masa jabatan, kalau mau terpilih kembali kepala desa harus benar-benar bekerja dengan sebaik-baiknya sehingga masyarakat bisa menilai kinerjanya baik atau buruk.

Kalau kinerjanya baik terbuka kemungkinan untuk dipilih kembali. Jadi tidak perlu masa jabatannya yang diperpanjang. Kalaupun nanti Undang-undangnya direvisi dan disepakati jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun, siapa yang bisa jamin Kepala Desa yang terpilih berkinerja baik atau buruk?
Apalagi menjelang pemilu 2024, tentu banyak spekulasi dan asumsi yang berkembang. Jadi Kepala Desa fokus saja pada program-program yang ada di Desa.

Pos terkait