Tan Malaka Bukan Bapak Swasta

“Manusia spiritualis dilihat dari janjinya dan kwalitas kepemimpinan dapat dilihat dari bacaan serta perkawanan. Jika janjimu munafik, bacaanmu koran murahan dan temanmu begundal kolonial, bagaimana tahu bentuk penjajahan?” Begitulah tuan Alvin bicara di depan kawan-kawannya.

Tanpa tahu aneka penjajahan, sesungguhnya kita bekerja menswastanisasi negara. Dan, itu jenis pengkhianatan terbesar atas jejak dan buah pikiran para pendiri republik. Sebuah negara bersama yang kini dirubah menjadi alat “gotong nyolong” bagi sebagian elite saja.

Bacaan Lainnya

Maka, jika ada konglemerat pembakar hutan yang bebas, jangan terkejut. Jika ada polisi yang dimutasi karena mencoba menegakkan hukum melawan penguasa, jangan bingung. Jika ada menteri saling berkelahi dan saling menjatuhkan seakan-akan tidak memiliki komando, jangan kaget.

Janganlah kita merasa aneh atas kejadian-kejadian di atas karena artinya kita masih hidup di negara swasta yang bacaan pemimpinnya tak luas dan hidup dalam defisit literasi.

Artinya luas. Jika elite hari ini sejak semula dan dari pikirannya ingin korupsi, terjadilah korupsi di mana-mana: massif, terstruktur dan berkesinambungan–sedang generasi Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Soedirman dan Syahrir sebaliknya.

Mereka ingin merealisasikan anti amoralisme kolonial (KKN) di mana saja dan kapan saja. Terciptalah revolusi yang diisi oleh kejeniusan pikiran dan asketisme perbuatan.

Sebagai contoh saja. Jika presiden Jokowi terkenal dengan gagasan “Esemka, Infrastruktur dan Defisit Pajak Agar Utang” sehingga lahir negara swasta maka, Tan punya “Madilog” yang merupakan akronim dari materialisme, dialektika dan logika.

Ini merupakan buku gagasan non-fiksi karya Tan Malaka yang membicarakan filsafat bumi pribumi. Dalam Madilog, pembaca akan menemukan pandangan Tan Malaka yang berbeda terhadap materialisme. Melalui cara berpikir yang kritis dan dinamis, pembaca diajak untuk tidak dogmatis dan bermental budak.

Dalam pikirannya, Tan Malaka menganggap manusia yang terbebas dari dogma, akan menjadi intelektual aktif yang kreatif dan menghargai kebebasan berpikir. Lalu, memberontak menumpas mati para penjajah. Bukan seperti elite hari ini.

Kalian tahu Tan Malaka dan Band Dewa-19 yang legendaris itu? Mengingat mereka berdua, aku ingat lagu Pupus dan Risalah Hati. Now, kubagi lirik lagu “Risalah Hati” karya Dewa-19.

Hidupku tanpa cintamu/
Bagai malam tanpa bintang/
Cintaku tanpa sambutmu/
Bagai panas tanpa hujan/
Jiwaku berbisik lirih/
Kuharus memilikimu/

Aku bisa membuatmu/
Jatuh cinta kepadaku/
Meski kau tak cinta kepadaku/
Beri sedikit waktu/
Biar cinta datang karena telah terbiasa/

Simpan mawar yang kuberi/
Mungkin wanginya mengilhami/
Sudikah dirimu untuk kenali aku dulu/
Sebelum kau ludahi aku/
Sebelum kau robek hatiku/

Jangan lupa, mari kita siapkan segera kemerdekaan kedua agar pikiran Tan menjadi nyata. Dan, Indonesia Yang Raya adalah kita.

Oleh: Prof DR Yudhie Haryono, PhD Guru Besar Univ Muhammadiyah Purwokerto dan Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Pos terkait