Oleh: Syahrul E Dasopang, The Indonesian Reform Institute
Berapa banyak generasi muda terpuruk dan jatuh dalam kubangan kemiskinan karena sistem pendidikan yang jeleknya minta ampun, padahal bisa harusnya diperbaiki. Berapa lama waktu sia-sia di negeri ini, hingga 75 tahun, yang seharusnya sistem pendidikan Indonesia sudah selesai dan mapan.
Persoalan utama pendidikan Indonesia adalah: ketika manusia/generasi baru lahir dan siap masuk ke jenjang pendidikan, orang tuanya dibiarkan nyari dan membayar sendiri sekolah anaknya. Bertahun-tahun orangtuanya dirundung biaya mahal oleh sekolah demi sekolah dari anaknya itu. Setelah anaknya selesai pendidikan, khususnya selesai sarjana, generasi yang siap bekerja dan mengabdi itu, dibiarkan pula mencari makan dan penghidupannya sendiri.
Banyak di antaranya karena urusan mencari makan dan penghidupan yang layak, akibatnya tidak lagi menggunakan kesarjanaannya untuk sumber penghidupannya. Ada sarjana agama Islam yang berkembang tidak sesuai dengan jalur dan keahlian pengetahuan yang ditempuhnya belasan tahun itu sehingga malah jadi ahli perkebunan. Harusnya sudah menjadi guru-guru yang handal di berbagai sekolah Islam/pesantren atau pengelola kegiatan keislaman.
Ada sarjana pertanian yang harusnya sudah menjadi ahli ikan lele, tetapi akibat tuntutan mencari makan yang tidak mudah dan penghidupan yang lebih mudah dan baik, malah berkarir menjadi marketing bank.
Inilah masalah pendidikan Indonesia yang tidak terintegrasi dengan baik dengan dunia nyata, dunia kerja. Padahal sudah bosan orang dengan wacana link and match, dan sudah bertumpuk penelitian pentingnya soal ini sebagai jawaban dari kebuntuan sistem pendidikan, namun tetap tidak dieksekusi oleh pemerintah.
Antara jumlah pasokan sarjana dari beragam disiplin ilmu dengan permintaan tidak seimbang. Akibatnya jelas, pengangguran sarjana meningkat dari tahun ke tahun.
Sumber-sumber lowongan pekerjaan dibiarkan dikelola dan diatur sendiri oleh lembaga atau pihak yang bersangkutan tanpa disentuh oleh pemerintah. Pemerintah tidak mendata berapa lowongan dan berapa suplai sarjana yang bisa dipasok dan ditempatkan.
Ketika TK penduduk dibiarkan nyari sekolah sendiri yang dia mampu biayai, setelah sarjana, penduduk dibiarkan sendiri nyari makan yang sesuai dengan kemampuannya pula.
Kalau pemerintah tidak bisa diharap, maka institusi keluargalah yang bertanggungjawab soal link and match putra-putrinya.
Perkara link and match ini gampang analoginya. Seperti putra-putri seorang raja, sejak kecil sudah disiapkan mau ditempa dan ditempatkan dimana kelak ketika ia dewasa. Dia sudah tahu dengan bakat dan kedudukannya. Bukan kayak ayam nyari dan mengais rezeki di sana sini. Habis waktu. Tentu kita tidak sedang bicara tentang pendidikan kedinasan di sini.
Sebelum dia jadi raja, dia jadi gubernur atau panglima dalam suatu satuan militer. Lalu dia diangkat jadi putra mahkota sambil magang menjadi calon raja. Pada saatnya tiba, dia sudah siap menaiki tahta raja dan siap mental menanggung risika dan tanggung jawab besar sebagai raja. Begitulah hendaknya pendidikan diproses.
Ini pendidikan Indonesia, seperti toko swalayan. Yang punya duit, harap antri di kasir untuk membayar pembeliannya. Sewaktu sebelum bayar, silakan ambil sendiri. Setelah barang dibawa pulang, habis dimakan. Besok beli lagi dan proses yang sama di swalayan. Yang untung pemilik swalayannya.
~ SED