Salah Sekolah

Saya tengah melalukan perjalan darat dari Jakarta menuju Medan. Tentu saja sepanjang perjalanan yang memakan ribuan kilometer tersebut, saya lihat banyak kota-kota tumbuh. Ada yang pesat dan ada yang lamban.

Pertumbuhan tersebut menandakan pertumbuhan ekonomi sepanjang lk 20 tahun era kekuasaan desentralisasi dan sistem demokrasi multi partai ini memberi dampak hadirnya banyak pemain-pemain ekonomi di berbagai daerah.

Saya terkesan dengan semakin ramainya kota di Lubuk Linggau, Kampar dan Rokan Hilir. Aktivitas ekonomi tampak berkembamg.

Sumatera tetap memainkan peranan sebagai pemasok ekonomi sumber daya alam. Belum bergeser kepada industri jasa atau industri relatif maju sebagaimana posisi pulau Jawa.

Perkebunan sawit dan karet masih mendominasi pemandangan sepanjang perjalanan darat. Truk-truk besar dan panjang pengangkut hasil alam secara langsung, hilir mudik menyesaki rumah-rumah makan di jalan raya.

Di beberapa titik di Sumatera Selatan terlihat kegiatan pabrik dan juga transportasi yang mengangkut batu bara. Di Plaju, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi juga masih seperti yang dulu.

Di Jambi, terdapat juga kegiatan pertambangan yang menguliti bumi cukup memprihatinkan. Di Riau, khususnya di Rokan, tambang minyak lama yang dulu bernama Chevron, kini beralih nama menjadi Pertamina. Menandakan peralihan kepemilikan hak eksploitasi.

Sumatera, biar pun zaman dan rezim politik telah berubah dan silih berganti, tetap saja saya melihat penduduk aslinya gamang, kecut, murung dan ragu menatap masa depan mereka. Kesenjangan kepemilikan lahan dan akses kepada pendidikan yang bermutu, tetap merundungi kehidupan mereka.

Sebenarnya, potensi pertumbuhan ekonomi sumatera amatlah menjanjikan. Masalahnya, sekolah atau pendidikan yang berkembang selama ini rasanya salah sasaran.

Misalnya, banyak remaja-remaja sumatera jauh-jauh sekolah ke Pulau Jawa atau ke Malaysia dan luar negeri, begitu selesai menamatkan sekolah, mereka buta dan rabun ayam melihat situasi lingkungan sosial dan ekonomi politik sumatera sehingga tidak tahu mau mengambil fungsi dan peranan apa di kampung halaman mereka secara tepat dan konstruktif.

Memang sekolah yang mereka jalani dan dapatkan selama di Jawa maupun luar negeri, tidak memiliki hubungan kontekstual dengan apa yang terjadi dan berkembang di sumatera.

Alhasil, aneka pengetahuan yang mereka peroleh itu di Jawa maupun di luar negeri, dicopy paste begitu saja di lingkungan sumatera yang sebenarnya tuntutan dan konteksnya berbeda. Tapi karena hanya pengetahuan seperti itu yang mereka kumpulkan di Jawa dan luar negeri, maka tidak ada cara lain selain memaksakan pengetahuan dan cara itu diterapkan kendati banyak kasus tidak relevan. Mereka tidak peduli dengan keadaan sosial dan ekonomi politiknya, mereka hanya peduli bagaimana pengetahuan mereka berhasil diterapkan, walau harus menemui dua hal: dipaksakan atau terasing dari kenyataan.

Persoalan semacam ini, amat terlihat dalam lingkup pengetahuan keagamaan dewasa ini di sumatera, terutama sekali di daerah provinsi Riau. Riau, bilamana tidak diantisipasi sejak dini, dapat berkembang menjadi ekslusif dan puritan.

Lantas pertanyaannya, ada apa dengan sekolah yang diberikan selama ini? Mengapa seolah tidak mampu menjawab persoalan dan kebutuhan kontekstual di berbagai daerah selama ini?

Penyeragaman asupan pengetahuan seperti yang disajikan dalam kurikulum nasional telah membuat lahirnya generasi-generasi yang teralienasi dari konteks daerahnya dan gugup dan gagap menjawab situasi dan masa depan mereka.

Di sinilah perlunya kembali membuat sekolah-sekolah yang sebenar-sebenarnya kontekstual dan tepat guna hasil-hasil pendidikannya tanpa harus tertinggal secara nasional dan internasional.

~ SED, Pengamat Sosial

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *