Remake Film Ali Topan, Sebuah Catatan Konstruktif

Bagaimana pun, usaha mengangkat kembali Ali Topan sebagai karakter rekaan kteator novel legendaris almarhum Teguh Esha, sudah seharusnya diapresiasi. Hanya saja, ada beberapa catatan yang perlu disematkan di sini supaya karakter Ali Topan saat diangkat dalam medium film, benar-benar terjelmakan sebagaimana yang diinginkan oleh pengarangnya. Sebab, masih saya ingat dengan baik betapa pengarangnya, Teguh Esha, merasa tidak puas dengan karakter Ali Topan yang tampil ketika menjadi film.

Mengingat Ali Topan kembali diangkat sebagai film di bawah sutradara Tata Sidharta, maka tidak ada salahnya diingatkan agar remake karakter Ali Topan tidak meleset dari aslinya.

Karakter Ali Topan memang begitu kuat mempengaruhi massa remaja angkatan 70 -an, baik melalui peredaran bacaan novelnya maupun film yang dibuat era itu. Junaedi Salat, pemeran film Ali Topan yang pertama, sukses beken dari film itu. Widi Santoso, pemeran Ali Topan dalam film Ali Topan Detektif Partikelir Turun ke Jalan yang dirilis pada 1979, tidak dapat mengungguli kesohoran Junaedi Salat yang memerankan Ali Topan Kesandung Cinta.

Pada era 90-an, karakter Ali Topan diangkat dalam bentuk sinetron yang dibintangi oleh Ari Sihasale. Tapi menurut saya, Ari Sihasale gagal menjelmakan sosok Ali Topan yang idealis dan cerdas. Sekedar menampilkan sisi permukaan Ali Topan saja yang menunggang motor. Itu pun motornya berganti dari jenis trail Yamaha DT 1000 menjadi Harley Davidson.

Pada 2015, usaha mengangkat kembali karakter Ali Topan Anak Jalanan oleh sutradara, John de Rantau dengan pemeran Adrian Kurniawan tidak tercapai. Sempat konferensi pers saja yang ikut saya hadiri. Setelah hampir 8 tahun, kini karakter Ali Topan kembali dihidupkan dalam film yang akan dibintangi oleh Jefri Nichol. Apakah karakter Ali Topan yang legendaris dapat dihidupkan oleh Jefri Nichol, atau malah gagal dan melenceng dari karakter sebenarnya, lebih baik kita tunggu filmnya benar-benar jadi dan dihidangkan ke publik.

Watak Ali Topan

Ali Topan tidak sekedar remaja yang menggambarkan pribadi urakan, gondrong, anak dari keluarga broken home, crossboy, jalang, hobi balapan liar di jalanan, suka memberontak, menggunakan bahasa prokem dalam pergaulan, punya geng, dan menunggang sepeda motor trail. Itu hanya sedikit penampilan luaran pribadinya.

Lebih dalam dari penampilan luaran itu, jiwa Ali Topan adalah benci dan anti kemunafikan, anti feodalisme sekaligus anti segala macam bentuk korupsi dalam hidup.

Ali Topan merupakan cerminan dan perwakilan dari jiwa remaja idealis, gaya berpikir logis, humanis, solider dan sportif alias tidak lari dari tanggung jawab. Bukan slengekan dan serba brontak, seperti yang diutarakan calon pemerannya, Jefri Nichol.

Kalau Ali Topan merasa alasannya cocok dan masuk.akal, dia dengan sportif mengakui dan mengikutinya. Tapi kalau dia rasa bertentangan secara logika dan nurani, dia dengan tanpa pikir panjang, berontak atas aturan.

Bagi yang mengenal pribadi pengarangnya, Teguh Esha, sebenarnya karakter Ali Topan adalah karakter pengarangnya sendiri.

Jangan coba-coba ngeles pakai dalih-dalih yang tidak masuk akal ketika berusan dengan dia, dalih Anda akan dipatahkan. Dan jangan coba-coba bermuka dua apalagi gaya feodal menjilat di hadapannya, bisa-bisa habis muka Anda tak bernilai lagi.

Saya mengenal beliau almarhum Teguh Esha sejak tahun 1999. Di sudut gelanggang remaja di jalan Bulungan Jakarta Selatan, Mas Teguh mengasuh sebuah club sastra sabtu sore. Isinya macam-macam orang. Dari yang anak SMA, pelukis, seniman pengamen jalanan, mahasiswa hingga wartawan Indosiar. Saya yang masih mahasiswa, berada di antara pesertanya.

Tanpa banyak teori, dia hanya suruh dua hal: pertama, baca novelnya, Ali Topan Anak Jalanan; kedua, tulis resensi atas novel tersebut.

Ibarat orang yang belum pernah berenang, langsung diceburin dan disuruh berenang agar tidak tenggelam.

Asal muasalnya, saya dibawa oleh kawan saya, Mas Subhan berkenalan dengan Mas Teguh, sehingga saya akhirnya dekat dengan beliau. Subhan, sedang mengorganisir kegiatan sayembara sastra yang melibatkan Mas Teguh sebagai Dewan Juri.

Di kemudian hari, persaudaraan saya dengan Mas Teguh, meningkat dan hubungan guru dan murid pun rasanya berjalan. Karena Mas Teguh sangat gandrung mengkaji dan memetik makna-makna literal seluruh ayat-ayat Al-Quran yang 30 juz itu, membawanya membanding-bandingkan antara terjemahan Indonesia, Inggris, dan bahasa-bahasa lain. Kebetulan, saya sedikit lebih tahu bahasa Arab dari pada Almarhum, maka ke saya, kerap sekali dijadikan sebagai teman diskusi dan menanya arti literal dari kata-kata dan kalimat di dalam ayat-ayat Al-Quran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang memang beberapa terdapat yang ambigu.

Saya bisa memahami jalan pikiran Mas Teguh karena sudah lama berdiskusi aneka isu dalam jangka waktu lebih dari 20 tahun.

“Kalau Sang Pencipta menginginkan pesan firman-Nya dicerna akal pikiran hamba-hamba-Nya dengan mudah, lantas mengapa di sini, Al-Quran susah nyangkut di pikiran. Kalau masalahnya di sini hamba-hamba-Nya kebetulan berbahasa Indonesia susah mencerna bahasa Arab, lantas kenapa terjemahan Indonesianya tidak mudah dicerna alias ribet?

Begitu kira-kira saya tangkap jalan pikiran almarhum.

Kini, karya legendarisnya kembali diangkat ke film yang akan dengan sendirinya membawa namanya kembali diperbincangkan. Semoga film remake Ali Topan kali ini, akan sesuai harapan pengarangnya, yaitu promosi karakter anak muda berjiwa anti korupsi dengan segala bentuknya, berpikir logis, bersifat idealis, solider dan humanis. Bukan hanya mengumbar penampilan luaran karakter Ali Topan semata.

 

Oleh: SED

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *