Rahasia Kecerdasan Khas Indonesia

Kalau ada kata yang dapat mewakili kecerdasan khas Indonesia, maka kata itu adala ramu atau tepatnya, meramu.

Meramu merupakan kecerdasan berdasarkan dan mengandalkan rasa. Dan rasa, lebih condong pada domain subjektif ketimbang objektif.

Karena meramu mensyaratkan banyak bahan baku rasa, maka kepiawaian mencampur dalam takaran yang serasi, merupakan bagian instrinsik dari kecerdasan khas ini.

Sebelum kita tarik formulasi kecerdasan meramu ini dalam domain politik dan ekonomi, mari kita lihat buktinya pada makanan.

Sepintar-pintarnya orang Barat dalam soal meramu, mereka hanya tahu salad. Indonesia, banyak. Ada pecal, ada gado-gado, ada karedok. Gado-gado dengan karedok saja beda. Gado-gado merupakan makanan sayur-sayuran yang direbus dan dicampur jadi satu, dengan bumbu kacang atau saus dari kacang tanah. Sedangkan karedok, sayur-mayurnya tetap mentah.

Dalam soal meramu makanan dari buah, Indonesia punya rujak. Campuran irisan buah-buahan yang disatukan dengan bumbu.

Dalam soal tanaman obat atau rempah, Indonesia punya jamu. Khususnya soal jamu ini ada di Jawa. Ini juga contoh aplikasi kecerdasan meramu jadi satu dengan takaran yang diatur sedemikian rupa sehingga menjadi minuman kesehatan yang berkhasiat tinggi.

Bukan sampai di situ saja. Ketika es masuk dalam daftar menu dan jajanan orang Indonesia, budaya kuliner Indonesia menemukan es campur. Tak perlu diterangkan lagi seperti apa itu es campur. Tapi pendeknya, itulah kekhasan Indonesia: memiliki bakat dan kecerdasan dalam soal mencampurkan beragam unsur menjadi satu kesatuan sehingga menjadi entitas yang baru dan unik.

Bukan kebetulan jika di Indonesia, tantangan dualisme institusi pendidikan, yaitu pendidikan agama di satu sisi dan pendidikan umum di sisi lain, dapat saja ditemukan solusinya oleh Indonesia, yaitu dengan apa yang disebut Sekolah Islam Terpadu, seperti SDIT, SMPIT hingga SMAIT. Bukankah ini soal kecerdasan meramu juga?

Jadi kalau dicermati, kecerdasan unik Indonesia ialah meramu, memadu, merakit, menggalang, menggabungkan, hingga menyatukan.

Menggalang misalnya, hanya ada istilah intelijen ini di Indonesia. Di negeri lain, tidak ada. Dan menggalang, berhubungan dengan kecerdasan aksi intelijen yang dimiliki oleh Ali Moertopo, pengasas rezim militer Orde Baru. Pada intinya, senafas dengan mencampur.

Sekarang kita tarik bukti kecerdasan meramu ini dalam domain politik. Yang paling terang-benderang ialah gagasan Pancasila. Bisa-bisanya lima unit gagasan ini dapat diramu oleh bangsa Indonesia menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai dasar negara. Malahan dikembangkan pula menjadi suatu falsafah. Itulah uniknya Indonesia.

Lain lagi halnya dengan gagasan ideologi marhaenisme yang diciptakan oleh Soekarno. Ini juga merupakan hasil ramuan antara ideologi marxisme dengan kenyataan dan tantangan lokal Indonesia dan tentu saja diputuskan dengan cita rasa Indonesia.

Pada akhirnya, dalam urusan Indonesia, apa saja dan unsur apa saja bisa masuk dan ditampung, tapi cita rasa tidak pernah berubah. Semua tunduk pada cita rasa Indonesia, jika ingin diterima dan dikonsumsi. Jangankan KFC, Fizza Hurt, bahkan Indomie pun harus tunduk dengan cita rasa Indonesia. Ada Indomie rasa mie aceh, soto lamongan, ayam geprek, dlsb.

Tapi sedemikian terbukanya budaya Indonesia terhadap unsur asing, Indonesia secara primordial telah dilengkapi auto sistem yang dapat menyaring, mana yang dapat diterima dan mana yang akan ditolak. Dengan demikian, cita rasa dan cara pandang Indonesia tetap bertahan.

Tidak seperti budaya Barat, yang dapat dengan pasti kehilangan akar primordialnya. Sebab gaya berpikir dialektik, tesa-anti tesa, lama kelamaan bukan sintesa yang diperoleh, tapi tesa baru yang merevolusi hal yang lama. Atau budaya lain, mungkin budaya semitik seperti Arab dan Yahudi, hal mana hanya ada dua: pembaruan kemudian balik lagi menjadi pemurnian. Akibatnya, kebudayaan mereka mewujud pada dua ayunan itu saja: setelah terjadi hal yang baru, seiring dengan perkembangam budayanya kemudian, muncul lagi usaha pemurnian untuk kembali seperti awal.

Indonesia, lain dari dua gaya budaya di atas. Sinkretik dan ramu meramu unsur, merupakan hal yang subur dan diapresiasi masyarakatnya. Lihatlah gerakan agama seperti Muhammadiyah saja yang tadinya bergaya pemurnian, pada akhirnya berdamai dengan gaya ramu meramu. Karena pada dasarnya, kecerdasan meramu ini merupakan instrinsik dalam budaya Indonesia. Dan telah menjadi bawaan sebagai perlengkapan kultural-primordial auto sistem.

Perlengkapan kuktural-primordial auto sistem inilah yang penting untuk ditemukan dan diperkuat agar kelangsungan Indonesia sebagai suatu peradaban dapat berlangsung dan berkembang.

Catatan Ringan Keempat Belas

Syahrul Efendi Dasopang, Penulis

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *