Putusan MK 135 Dinilai Ubah Arah Demokrasi Lokal

Jakarta — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XX/Tahun 2025 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal dinilai berpotensi mengubah peta demokrasi Indonesia secara drastis. Hal ini mengemuka dalam Dialog Pemuda bertajuk “Perspektif Pemuda Pasca Putusan 135 MK” yang digelar DPP KNPI di Jakarta, Jumat (14/11/2025). Para narasumber menilai bahwa keputusan tersebut bukan hanya mempengaruhi teknis penyelenggaraan pemilu, tetapi juga menciptakan kerumitan hukum dan dinamika politik baru.

Komisioner KPU DKI Jakarta, Fahmi Dzikrillah, menjelaskan bahwa pengalaman Pemilu 2019 menjadi pelajaran besar mengapa pemisahan pemilu diperlukan. Menurutnya, penyelenggara kelelahan akibat beban kerja pemilu serentak, bahkan hingga kehilangan nyawa.

“Banyak petugas yang meninggal karena kelelahan. Pemilu serentak 2019 menjadi tragedi demokrasi,” kata Fahmi.

Ia menambahkan bahwa Indonesia terus berganti format pemilu dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, menunjukkan sistem kepemiluan nasional masih berada pada tahap pencarian bentuk terbaik.

Fahmi menyebut Pemilu 2029 akan menghadirkan skema baru dengan hanya tiga surat suara pada pemilu nasional. “Selebihnya akan dipisah dan digelar dalam pemilu lokal,” ujarnya.

Sementara itu, politisi muda Partai Golkar, Ubaidillah, menyoroti persoalan yang lebih mendalam: konflik antara tafsir MK dan kewenangan legislatif. Ia mempertanyakan apakah MK sekadar menafsirkan pasal, atau justru menciptakan norma hukum baru.

“Jika putusan MK menimbulkan norma baru, maka ada pengambilalihan fungsi legislatif oleh MK. Ini problem filosofi yang serius,” tegasnya.

Ia juga menyoroti potensi kekosongan kekuasaan jika masa jabatan DPRD tidak diatur ulang dengan tepat. Menurutnya, perpanjangan masa jabatan secara administratif dapat bertentangan dengan prinsip original power bahwa kekuasaan legislatif hanya dapat lahir melalui pemilu.

Selain itu, Ubaidillah memperingatkan bahwa putusan MK 135 akan memaksa pemerintah dan DPR merevisi banyak undang-undang sekaligus, mulai dari UU Pemilu, UU Pilkada, hingga UU Pemerintahan Daerah.

“Regulasi kita dibuat limbung. Kita dipaksa mengubah banyak hal secara cepat,” katanya.

Dari sisi kelompok pemuda, Ketua Bidang Politik dan Kepemiluan DPP KNPI, Aridho Pamungkas, memaparkan hasil survei yang menunjukkan 70,3 persen publik—dominan Gen Z—mendukung pemisahan pemilu.

“Gen Z selama ini jadi objek polarisasi politik nasional. Pemilu terpisah memberi ruang isu lokal muncul lebih kuat,” katanya.

Namun ia mengingatkan bahwa tantangan baru akan muncul: kejenuhan politik karena terlalu banyak momentum elektoral, biaya kampanye yang meningkat, serta risiko konflik lokal yang lebih besar.
Aridho juga menyoroti isu representasi perempuan di alat kelengkapan dewan yang masih minim meski sudah ada putusan MK yang mewajibkan 30 persen perempuan di posisi pimpinan AKD.

“Di lapangan, implementasinya belum optimal,” katanya (red).

Pos terkait