BEKASI – Pemerintah pusat melalui Danantara akan memulai proses tender proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) pada 6 November 2025. Proyek ini menjadi bagian dari gelombang pertama pelaksanaan program nasional di tujuh kota prioritas, salah satunya Kota Bekasi. Sebanyak 24 peserta tender yang telah lolos seleksi pendahuluan diketahui seluruhnya merupakan perusahaan asing, menandakan dominasi investor luar negeri dalam proyek energi terbarukan nasional.
Proyek PLTSa ini merupakan pelaksanaan langsung dari amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Dalam Pasal 2 Perpres tersebut ditegaskan bahwa tujuan program ini adalah mengatasi penumpukan sampah nasional yang telah mencapai lebih dari 56 juta ton per tahun, serta mendukung transisi menuju energi hijau nasional tahun 2029 sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Nurul Sumarheni, Tokoh Bekasi yang juga mantan Ketua KPUD Kota Bekasi, aktivis senior Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), menyambut baik inisiatif tersebut. “Sebagai warga Kota Bekasi, saya mendukung langkah pemerintah ini. Namun, setiap proyek besar wajib berpegang pada prinsip tata kelola yang baik (good governance) dan asas keberlanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” ujarnya tegas, Rabu (5/11/2025).
Ia menambahkan bahwa proyek PLTSa harus menjadi solusi permanen terhadap gunungan sampah di Bantar Gebang, bukan menimbulkan persoalan baru. “Jika dilaksanakan dengan benar, PLTSa akan mampu mengurai timbunan sampah yang bertahun-tahun menjadi persoalan klasik Bekasi. Namun bila salah kelola, bisa jadi kita hanya mengganti satu bentuk pencemaran dengan pencemaran lain,” tambahnya dengan nada waspada.
Meski berlabel energi hijau, proyek ini tidak lepas dari gelombang kritik. Salah satunya datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang menyebut PLTSa sebagai “solusi semu.” Kajian WALHI bersama Zero Waste Indonesia dan Global Alliance of Incinerator Alternatives (GAIA) tahun 2024 menemukan bahwa teknologi insinerator yang digunakan dalam PLTSa berpotensi melanggar prinsip kehati-hatian lingkungan (precautionary principle) dan berisiko menimbulkan polusi berbahaya, limbah B3, serta beban fiskal jangka panjang bagi daerah.
Secara teknis, ada lima kekhawatiran utama terhadap model pengelolaan sampah berbasis insinerator ini. Pertama, ancaman polusi udara beracun akibat emisi dioksin dan furan yang bersifat karsinogenik. Hal ini bertentangan dengan Pasal 69 ayat (1) huruf e UU No. 32 Tahun 2009 yang melarang setiap orang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran udara. Kedua, munculnya limbah B3 baru berupa abu dasar (bottom ash) dan abu terbang (fly ash) atau FABA, yang dikategorikan sebagai limbah berbahaya sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3.
Ketiga, terdapat risiko jebakan ekonomi (economic trap) akibat sistem Tipping Fee atau Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) yang wajib dibayar oleh pemerintah daerah kepada investor selama masa kontrak hingga 30 tahun. Hal ini dapat menimbulkan beban fiskal berkelanjutan dan berpotensi melanggar asas efisiensi pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Keempat, terdapat kontradiksi antara teknologi PLTSa dan karakteristik sampah nasional, yang 60% didominasi sampah organik berkadar air tinggi. Komposisi ini menjadikan pembakaran tidak efisien dan memerlukan tambahan energi, bertentangan dengan prinsip efektivitas sumber daya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf d UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Kelima, proyek PLTSa dinilai mengancam eksistensi program 3R (Reduce, Reuse, Recycle), yang merupakan mandat langsung Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU No. 18 Tahun 2008, yang menegaskan bahwa pengelolaan sampah harus mengutamakan pengurangan dari sumbernya terlebih dahulu sebelum ke proses akhir.
Menanggapi hal tersebut, Nurul Sumarheni menegaskan bahwa kritik harus dijadikan “reminder” bagi pemerintah untuk menyiapkan sistem pengawasan dan mitigasi. “Masalah polutan udara bisa ditekan dengan sistem filtrasi berlapis. Limbah abu harus dikonversi menjadi produk aman dan bernilai guna. Perjanjian investasi harus disusun transparan, tidak merugikan APBD, dan berbasis akuntabilitas publik,” jelasnya.
Lebih lanjut, Nurul menyerukan agar Pemerintah Kota Bekasi tetap konsisten memperkuat pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan lingkungan hidup. “Sampah yang dikirim ke PLTSa seharusnya hanya residu akhir yang benar-benar tidak bisa didaur ulang. Program 3R dan TPS3R harus tetap dijalankan secara simultan, bahkan diperkuat dengan insentif bagi masyarakat yang memilah dan mengelola sampahnya sendiri,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa keberadaan PLTSa tidak boleh mematikan ekonomi sirkular yang telah tumbuh di masyarakat. “Sampah organik bisa menjadi kompos dan pakan maggot bernilai ekonomi. Sampah anorganik bisa didaur ulang menjadi bahan baku industri. Jangan sampai kehadiran PLTSa justru merebut peluang ekonomi warga dan menyingkirkan pelaku daur ulang lokal,” tegas Nurul, menyinggung pentingnya pemberdayaan berbasis lingkungan.
Dalam konteks hukum lingkungan, ia mengingatkan pemerintah agar menjadikan prinsip tanggung jawab negara (state responsibility) dan hak masyarakat atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai pedoman utama, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009. Artinya, setiap kebijakan pengelolaan sampah, termasuk PLTSa, wajib menjamin hak konstitusional warga untuk menikmati lingkungan yang bersih dan sehat tanpa diskriminasi.
“Bekasi punya sejarah panjang dengan Bantar Gebang. Sudah seharusnya kita belajar dari masa lalu agar tidak mengulang kesalahan yang sama dalam bentuk baru. Energi hijau memang masa depan, tapi jangan sampai ia dibangun di atas abu dan penderitaan lingkungan.” Pungkas Nurul Sumarheni, menutup keterangannya dengan nada reflektif.
(CP/red)
