Oleh : Denny JA
Renungan Politik Elektoral di Ujung Tahun 2023
“Kegigihan Menggapai Matahari.” Mungkin ini metafora yang tepat untuk menggambarkan kegigihan Prabowo dalam pemilu presiden langsung di Indonesia.
Sejak tahun 2004, pemilihan presiden langsung pertama di Indonesia, Prabowo sudah aktif di sana. Ia ikut konvensi Partai Golkar di tahun 2004, tapi gagal.
Lalu berturut-turut, Pilpres 2009, ia menjadi cawapres, dan Pilpres 2014 serta Pilpres 2019, Prabowo menjadi capres. Semuanya gagal.
Akankah 2024 ini menjadi bab terakhir dari Prabowo untuk ikut pemilu presiden dan ia menang?
Inilah pertanyaan yang muncul ketika kita membaca perkembangan berita terakhir. Kabar itu dari publikasi survei LSI Denny JA.
Dalam konferensi pers tutup tahunnya, LSI Denny JA menyimpulkan Prabowo-Gibran membutuhkan tambahan 7% lagi untuk menang satu putaran saja.
Sudah begitu kuatnya posisi Prabowo dan Gibran, bahkan untuk menang satu putaran saja, ia hanya memerlukan tambahan 7 persen?
Kita bandingkan dengan perolehan elektabilitas Ganjar dan Anies di survei yang sama. Bagi Ganjar dan Anies, untuk masuk ke putaran kedua, mereka butuh minimal dukungan 33,3%. Itulah the magic number, tapal batas, untuk masuk putaran kedua.
Agar sampai ke sana, Ganjar perlu tambahan 10,4% lagi. Sedangkan Anies perlu 8% lagi.
Bahkan bagi Prabowo untuk menang satu putaran saja, Prabowo membutuhkan tambahan persentase yang lebih kecil ketimbang Anies atau Ganjar untuk masuk ke putaran kedua.
Apa yang membuat Prabowo begitu kuat? Dua saja ukurannya. Seberapa tokoh itu dikenal dan seberapa tokoh itu disukai? Sejak tahun 2004, Prabowo tak pernah mencapai angka setinggi itu.
Prabowo dikenal oleh lebih dari 95% populasi Indonesia. Bisa dikatakan, seluruh pemilih Indonesia hampir semuanya mengenal Prabowo.
Namun yang tak kalah pentingnya, Prabowo juga disukai oleh 80% orang yang mengenalnya. Dua perolehan ini, kita sebut saja sebagai Kategori Elektabilitas Kelas A.
Kategori itu sangat sulit dicapai oleh seorang tokoh. Prabowo mencapai puncak gunung elektabilitas ini pada tahun 2023.
Kita dapat membandingkan kategori elektabilitas Prabowo dalam pilpres ini dengan pilpres sebelumnya. Ini adalah data survei LSI Denny JA sejak tahun 2014.
Memang benar Prabowo juga sudah dikenal begitu luas pada pilpres sebelumnya. Namun, yang menyukai Prabowo saat Pilpres 2014 di bawah 75%. Begitu juga yang menyukai Prabowo dalam Pilpres 2019 di bawah 75%.
Baru dalam pilpres 2024 ini, Prabowo disukai oleh orang yang mengenalnya, di atas 80%. Karena itu, kita katakan bahwa, memang inilah Pilpres yang memberikan potensi kemenangan terbesar bagi Prabowo. Inilah pilpres terbaik bagi Prabowo.
Selama saya aktif mengikuti pemilu presiden sejak tahun 2004, ikut memenangkan SBY dua kali (2004, 2009), lalu ikut memenangkan Jokowi dua kali (2014, 2019), sepanjang sejarah pilpres langsung Indonesia, hanya dua tokoh, dalam dua momen, yang pernah mencapai Kategori Elektabilitas Kelas A.
Tokoh yang juga pernah dikenal lebih dari 95%, dan pada saat yang sama disukai di atas 80%, adalah SBY di tahun 2009, ketika ia menang satu putaran saja. Angka itu juga dicapai oleh Jokowi di tahun 2019, ketika ia kembali terpilih kedua kalinya.
Tingginya kategori elektabilitas Prabowo di 2023 bisa kita bandingkan juga dengan Ganjar dan Anies. Pada momen yang sama, Anies dan Ganjar memperoleh tingkat pengenalan masih di bawah 95%. Publik yang menyukainya (dari yang mengenal), pun juga di bawah 80%.
Bisa kita katakan untuk kasus Anies dan Ganjar, mereka berdua baru mencapai Kategori Elektabilitas Kelas A- (A minus). Sementara Prabowo di saat yang sama kategori elektabilitasnya sudah kelas A. Di pilpres 2024, untuk kategori elektabilitas kelas A, Prabowo menjadi The One and The Only.
Tapi sudah pastikah Prabowo menang dalam pilpres 2024 ini (baik satu putaran atau dua putaran)?
Prabowo dan Gibran memang saat ini angka elektabilitasnya sudah begitu tinggi, berjarak double digit dengan dua pasangan kompetitornya.
Namun, empat hal ini akan menjadi penentu berikutnya, karena masih tersisa lebih dari satu bulan lagi untuk Pilpres Februari 2024. Dan masih bersisa waktu enam bulan lagi untuk putaran kedua, jika ada dua putaran pilpres (Juni 2024).
Jarak waktu satu bulan apalagi enam bulan, itu jalan yang masih panjang. Itu “Long and Winding Road,” seperti judul lagu The Beatles. Bahkan banyak hal bisa terjadi dalam waktu satu malam.
Ada empat hal yang bisa menentukan dan menghalangi kemenangan Prabowo dan Gibran. Pertama adalah blunder yang fatal. Seberapa jauh Prabowo dan Gibran bisa untuk tidak melakukan blunder yang besar di sisa waktu ini.
Kedua adalah langkah gemilang kompetitor. Apakah ada langkah Wow Effect, langkah yang minta ampun hebatnya, cemerlangnya, dari kompetitor Ganjar ataupun dari Anies?
Ketiga, apakah Golput dari pendukung Prabowo dan Gibran ini akan besar sekali, dan tidak proporsional, jauh lebih besar ketimbang Golput dari pendukungnya Amien dan pendukungnya Ganjar.
Sebesar apapun pendukung, jika mereka tak mencoblos ke TPS, suara mereka tak dihitung.
Keempat, apakah akan terjadi ekonomic breakdown di Indonesia hingga Juni 2024? Jika ekonomi merosot, kepuasan publik pada Jokowi akan menurun. Itu memberikan efek juga kepada Prabowo.
Jika empat penghalang di atas bisa dikontrol, maka dalam pilpres kali ini, Prabowo akan berhasil menggapai matahari, yang sudah diburu sejak tahun 2004.
Pilpres 2024 akan menjadi happy ending bagi Prabowo, happy ending bagi sang pemburu matahari.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.